Kamis, 05 Juni 2014

Melanjutkan Cerpen (Bahasa Indonesia)



BAHAGIA ITU SEDERHANA
Banyak yang salah sangka menafsirkan tingkah lakuku yang aneh. Aku terlahir dengan karakter introvert. Itu istilah untuk seorang yang pendiam, pasif, dingin, dan tertutup. Penyebab aku tak punya teman, sendirian, dan penyendiri. Jangan sapa aku di jalan, karena aku tidak akan menoleh. Mereka bilang aku sombong. Tentu saja, aku juga tidak akan menyapa siapapun karena aku tidak kenal siapapun di dunia ini. Aku tak punya teman, pacar, dan keluarga aku ini sendirian.
“Bagaimana dengan ayah, ibu, kakak dan adikmu?”
“Aku tak punya keluarga”
“Bukankah dirumahmu ada orang lain selain dirimu?”
“Kau ini banyak omong, berhentilah bertanya”
Aku meninggalkan cewek berbadan mungil bernama Tasya tersebut dan melanjutkan perjalananku. Duniaku terlalu membuat Tasya merasa tertarik untuk menanyakan segala macam hal tentang diriku. Jujur saja, aku tidak menyukainya.
Kembali berfikir sejenak. Duniaku ini mungkin sudah seharusnya tak terjamah oleh siapapun. Cukup aku saja yang merasakan duniaku yang kian menenggalamkanku. Aku tidak yakin dengan adanya Tasya aku akan menjaadi lebih baik. Dia hanya gadis berisik yang ingin serba tahu tentang kehidupanku. Entah mengapa ia dapat beranggapan bahwa aku menarik. Sungguh pernyataan bodoh yang sangat bodoh,, bagaimana mungkin kepribadianku yang pendiam, dingin, serta tertutup dapat menarik hati seseorang? Ia mungkin hanya ingin mempermainkanku. Semakin aku berpikir, semakin tercampur semua isi kepalaku.
Tasya yang terus saja membuntutiku sejak tadi sangatlah mengganggu perjalananku ke sekolah. Ocehannya yang kian menari-nari di telingaku membuatku geram. Mengapa dia begitu berisik? Mengapa dia harus ada di setiap aku melangkahkan kaki?
Di kelas yang satu ini aku menuntut berbagai pendidikan. Sudah dua tahun lamanya aku mendekam di berbagai kenangan masa putih abu-abu. Suasana kelas yang bising ini kian membuatku merasa menghilang. Semua orang telah beranggapan aku tidak ada, keberadaanku tak pernah dianggap. Namun, bereda dengan Tasya yang kian memperhatikanku. Ya, Tasya adalah salah satu teman sekelasku. Namun, keberadaannya kini sangat membuatku risih. Sikapnya yang terlalu perhatian dan ingin tahu segalanya seolah mengupas satu demi satu diriku yang lain.
“Hei! Mengapa diam saja? Ciee, ngelamunin siapa tuhh?” ledek Tasya yang mulai dengan kicauan barunya.
Aku hanya diam. Aku berusaha mengacuhkan segala pembicaraannya.
“… (blablabla)Apakah kamu tidak merasa kesepian?”
“Tidak” jawabku singkat.
“Dingin amat!”
“Berisik! Pergi sana! Tidak usah mengganggu orang lain. Kamu punya pekerjaan, kan? Berhentilah bertingkah seperti ini!” nada suaraku kian meninggi.
Tasya terdiam. Ia kemudian pergi dengan wajah sembraut. Aku mungkin terlalu keras padanya. Namun aku tidak peduli, ini semua salahnya yang terlalu tertarik dengan kehidupanku. Ini semua salahnya yang terlalu bising dengan beribu pertanyaan yang dia lontarkan. Aku tidak ingin orang lain mengetahui ada apa denganku dan bagaimana untuk dekat denganku.
Bel sekolah telah membahana menyerukan waktu pulang sekolah. Seluruh siswa berhamburan keluar untuk kembali ke peraduannya masing-masing. Langkah kaki kian menuntunku ke sebuah gubuk bertahta kesengsaraan. Rumahku memang besar, namun bagaikan neraka yang tak terjamah oleh kebahagiaan. Jangan tanyakan apa isinya, karena itu hanya akan membuatmu menyesal. Jangan pernah penasaran, karena kau tidak akan mendapat apa-apa dari rasa penasaranmu itu.
“Dari mana saja kamu?” sosok wanita karir berpakaian modis berdiri di hadapanku.
“Sudah pasti dari sekolah, kan? Aku sedang berpakaian apa sekarang? Apakah kamu buta? Sesibuk itukah kamu sampai-sampai tak bia membedakan pakaian sekolah dengan pakaian lain!”
“Kamu itu…”
“Sudahlah jangan berisik dan sok mengatur, aku mau isirahat. Kamu jangan mengganggu”
“Kalau begitu jangan lupa makan” ia mulai mengeluarka sikap keibuannya.
“Ya”
Wanita itu kembali pergi di kehidupan luarnya yang tak pernah aku jamah.
Masih dalam bilik kamar. Mencerna kata-kata Tasya “…Apakah kamu tidak merasa kesepian?” pertanyaan yang bodoh, sejak kapan gadis itu beranggapan aku kesepian. maaf saja, aku tidak merasa kesepian. Memang, aku kadang merasa sendirian.
“Ahhh…Mengapa aku selalu memikirkan Tasya? Semenjak gadis itu muncul dan menanyakan berbagai hal, aku menjadi tak karuan” batinku
Keesokan harinya, sekolah diliburkan karena kelas XII sedang menghadapi ujian sekolah. Tentu saja aku hanya menghabiskan waktu di taman rumah, tidak seperti remaja pada umumnya yang menghabiskan masa liburan dengan jalan-jalan ataupun nongkrong. Sekali lagi aku melihat sosok gadis yang tidak asing seolah lalu lalang memperhatikanku dari kejauhan. Tasya, lagi-lagi dia mencoba mencari tahu tentangku. Dari mana ia mengetahui alamatku? Seserius itukah ia mengetahui segalany tentangku? Ahh, aku mati kutu.
“Sedang apa kamu?”
“Hm…anu…anu…akuu..sekedar jalan-jalan, ya jalan-jalan”
“Dasar pengganggu”
“Hei jangan pergi, aku hanya ingin berteman”
“Sayang sekali aku tidak mau. Pulang sana!!”
Sekali lagi aku sangat keras dan dingin terhadap Tasya. Dia memang sangat menyebalkan dan membuat aku geram karenanya. Namun, jika dipikir lebih baik lagi, Tasya memang seorang gadis yang ceria dan seperti tidak punya beban. Cara ia berpakaian juga sangat modis, seperti para girlband yang sedang naik daun. Sekarang aku mulai bertanya-tanya bagaimana bisa Tasya menjadi gadis yang seperti itu. Mengapa ia bisa tampak begitu manis?
“Aduh… mengapa sekarang aku ikut-ikutan Tasya yang ingin tahu urusan orang? Mengapa aku terus memikirkan dia?” batinku mulai beradu lagi
Sekolah kembali di buka untuk para siswa yang senantiasa bersemangat mengejar pendidikan. Seperti biasa, Tasya hadir lagi di hari-hari baruku. Ia kembali menggangguku dengan tembakan-tembakan pertanyaannya. Namun, kali ini entah mengapa aku merasa baik-baik saja. Dan aku memberanikan diri bertanya
“Tasya”
“Ya, ada apa Raka?”
“Waktu di rumahku, kamu mengatakan bahwa kamu ingin berteman dengnku, bukan?”
“Ya, tentu saja. Aku sangat mau”
“Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaiman kamu selalu tampak ceria? Padahal aku sangat sering membentakmu”
“Aku selalu beranggapan kalau setiap bentakanmu itu adalah cara kamu mengekspresikan diri. Ituu yang membuatmu berbeda. Aku akui itu memang menyakitkan, namun bukankah semua oang pernah begitu?” Tasya tersenyum sangat manis
“Lalu, mengapa kamu bisa menghadapi segalanya?” pertanyaanku yang sejak malam kupikirkan akhirnya terlontar begitu saja.
“Hahaha. Kamu jadi kepo yah! Begini, seseorang pernah berkata kepadaku bahwa kenikmatan sebuah kopi dinilai dari seberapa pahit kopi itu”
“Maksudnya?”
“Kopi itu adalah perumpamaan sebuah kehidupan. Semakin banyak cobaan, berupa kepahitan semakin mendewasakan seseorang, hingga ia menjadi lebih baik”
“Lalu bagaimana kamu bisa sangat bahagia?” pertanyaan kembali terlontar
“Raka, bahagia itu sederhana. Cukup kamu menikmati pemberian Tuhan, bukannya mengeluh dengan semua cobaannya”
“Aku masih belum mengerti”
“Tenanglah, akan ku ajarkan padamu” senyuman Tasya kali ini membuatku sangat tenang. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan kebahagiannya. Dan untuk pertama kalinya aku mengukir senyuman di raut wajahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar