Jumat, 02 Mei 2014

DALAM LOGIKA


Awan mulai bergerak perlahan di sana, seolah waktu berjalan perlahan pula. Gerakan itu membentuk para awan menjadi sangat mempesona. Melukiskan beribu kenangan yang teruntai sejak aku menghirup udara kehidupan.
Aku terduduk merenungkan jalan hidup yang penuh liku, menantang batin, bahkan menghancurkan asa terbesarku. Hatiku menjerit. Jeritan itu memecahkan logikaku untuk berpikir lebih jauh. Jejak-jejak kecil yang dulu milikku, memiliki beribu bahkan jutaan impian yang menggunung. Kini sosok kecil itu berubah menjadi gadis tanpa harapan, tanpa impian, dan kosong dalam logika.
Jiwa yang kosong diterpa sentuhan lembut angin ini mengingatkanku akan sebuah kejadian lampau yang terukir hingga tetap menjadi memori yang tak terlupakan, memori yang hanya ku rasakan sendiri dengan batin yang makin menghilang. Hampanya hidup terasa makin mendalam, bahkan lebih dalam dibandingkan palung lautan. Hidupku terasa pincang bagaikan biola yang tak berdawai, bagai sayur tanpa garam. Tak menggenggam nalarku untuk tetap mengerti hal ini. Tak melihat dengan mata, tak mendengar dengan telinga, bahkan tak mampu mengucap kata untuk teruntai di setiap bibir ini terbuka.
Sayup-sayup keheningan terjadi lagi, namun malam ini terasa berbeda, sebuah tanya kembali terlintas di benakku. Aku memandang gelapnya langit di sana, seolah akan menemukan jawaban dengan beribu tanya di kepalaku. Tak ada bintang malam ini, bahkan bulan tak lagi datang menemani malam yang sunyi ini.
Sosok gadis kecil terduduk di balik jendela bertirai renda yang terurai menutupi kacanya. Isak tangisnya terdengar begitu menimbulkan tanya. Wajahnya yang manis tak nampak sedikit pun bagai ditelan kekosongan. Derai air matanya tak henti mengalir, bak aliran sungai yang mengalir deras ke muara. Terkadang aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang begitu dalam sehingga dapat membuatnya menangis tanpa henti. Aku semakin tenggelam dengan beribu pertanyaan di kepalaku. Seakan ingin meledak dan mencari jawaban yang pasti. Aku tak habis pikir, sosok periang ini dapat menangis seperti itu. Sosok yang selalu tertawa, bercanda, bahkan terlihat seperti tak ada alasan untuk merasakan kepedihan.
“ayah !”, desahnya perlahan
Wajah sedih itu tiba-tiba berubah menjadi geram, entah apa yang terjadi. Namun, aku hanya dapat memandangnya sembari terus bertanya dalam hati “Akankah senyumannya terbit lagi?”. Entah, hanya Tuhan yang tahu apa jadinya.
Terpaan angin dingin malam ini begitu menghanyutkan. Merasuk ke dalam sanubari dan menghunus serpihan perih. Pandangannya lurus menatap keluar, melihat berjuta kenangan lampau di sana. Tetes demi tetes air matanya kembali jatuh, isak tangisnya kembali terdengar. Ia menjadi tak terkendali, terbuai emosi yang siap meledak kapan saja.
Senja mulai terbenam,awan menjadi hitam tak terlihat bersahabat. Gadis kecil itu berlari. Berlari kencang dari semua yang tersembunyi. Ia semakin terbengkalai. Kadang duduk menyendiri, melamun hingga tak mengenal waktu. Namun itu lah dia, gadis kecil tanpa harapan
Sang gadis kecil mulai bercerita.
Masih aku ingat saat ayah dan ibu memberikan pelukannya malam itu. Kecupan manis dari ibu mengantarkanku dalam mimpi indah, senyumannya membuatku sangat tenang. Hari-hariku terasa sangat sempurna, terasa seperti di surga. Mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan segalanya dari orang tuaku. Saat itu aku merasa akulah anak yang paling beruntung.
Ibu sedang mengandung anak ketiga calon adikku. Aku selalu berharap mendapatkan adik bayi yang lucu yang akan bermain bersamaku. Sore itu, aku dan keluargaku berada di R.S Harapan, tempat ibuku akan melakukan persalinan. Aku, ayah, dan adikku Bagas menunggu dengan rasa was-was akan hadirnya sang calon bayi.
Tangisannya terdengar, aku sangat senang.
“Hah ? inikah saatnya ? inikah saat lahirnya adikku ? aku akan kembali menjadi seorang kakak ?”, batinku.
Saat kami menunggu dengan rasa penasaran, dokter keluar seraya berkata “Anaknya perempuan !”. Betapa aku sangat senang, akhirnya aku memiliki adik perempuan. Aku memeluk ayah dengan sangat erat, berharap ayah akan merasakan betapa senangnya aku akan kehadiran adikku. Ayah hanya tersenyum seolah memberi tanda mengerti kepadaku.
“Namanya siapa bu ?”, tanyaku
“Salsa, Salsa Putri Gayatri”
“Nama yang indah”. Aku berkata sambil mengelus pipi mungil adikku.
Tiga tahun berlalu setelah kelahiran adikku, Salsa. Ya, itulah namanya. Gadis kecil mungil yang menjadi teman bermainku sepulang sekolah. Ia sangat manis dengan pakaian yang ia kenakan hari ini, baju berwarna merah muda dengan pita kecil di depannya. Ia adikku tersayang. Aku menghabiskan semua waktuku untuknya, selain kepentinganku yang lain. Selain sekolah dan belajar, waktuku hanya untuk Salsa. Namun, aku tak pernah suka dengan adikku Bagas. Anak yang selalu menggangguku dengan berbagai keusilannya yang selalu ia anggap lucu. Aku tak pernah merasa senang jika ia ada di dekatku. Ialah satu-satunya orang yang kuharapkan tak pernah lahir di dunia ini. Bagas adalah anak kedua setelah aku, anak yang katanya akan tumbuh perkasa. Namun, menurutku itu sama sekali tak benar, bahkan tak ada benarnya. Karena dia hanya orang tak peduli orang lain, yang terus melempar semua kesalahannya padaku. Aku sangat membencinya.
Salsa kini bersekolah tingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Ia bermain, bergaul, dan memiliki banyak teman. Aku sangat senang melihatnya. Adik kecilku kini telah memiliki banyak teman. Tak seperti dulu, ia hanya bermain denganku.
Ibuku adalah sosok wanita hebat yang mengurus rumah tangga, bekerja, bahkan masih menekuni dunia seni. Ibuku adalah seorang penyanyi. Ia juga adalah seorang perenang. Kini, ia lebihsering menghabiskan waktunya untuk keluarga. Bukan karena tak bekerja lagi, namun ia lebih ingin menghabiskan waktunya bersama keluarga.
Ayahku adalah sosok pria yang keras. Ia adalah seorang pekerja keras. Aku bangga menjadi anak mereka. Namun aku sangat menyayangkan sifat keras ayah yang selalu menekanku untuk belajar, belajar dan hanya belajar. Yang ia pikirkan hanya bagaimana aku menjadi anak yang cerdas dan teladan. Aku tahu ayah melakukan ini untuk kebaikanku, dan hasilnya aku selalu berprestasi. Hal ini membuatku menjadi murid teladan. Namun, dibalik semua prestasiku ini, aku merasa bahwa aku tidak seperti anak lain yang bisa bergaul, jalan-jalan, dan mendapatkan banyak teman. Aku merasa terkekang.
Canda tawa yang selalu menghiasi seisi rumah kadang menjadi suatu hal yang dapat membuat rumh sesak karenanya. Terlalu banyak kesenangan dan kasih sayang. Sebuah keluarga sederhana ini yang menjadikanku seorang gadis yang kuat dengan berjuta cinta dari mereka. Kadang ada pertengkaran antara Aku dan Bagas. Namun, ayah selalu tahu cara untuk membuat kami kembali berbaikan. Senyuman ibu yang begitu meneduhkan membuat hati siapa pun akan terlena karenanya.
Salsa kini telah menjadi gadis yang memiliki banyak teman, tidak sepertiku yang hanya ditemani buku-buku usang di depanku. Salsa semakin hilang dari hidupku, tak pernah lagi hadir dalam setiap kesepianku. Ayah dan ibu kini semakin sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedangkan aku, hanya menyendiri dengan berbagai pembahasan soal yang ada di hadapanku ini. Rasa sepi seringkali datang menghapiri dengan berjuta kawannya yang tak pernah pergi. Ketekunan dan segala lapisan tekad masih terpendam di hatiku. Ak ingin membuktikan bahwa aku adalah seorang gadis yang kuat dan berprestasi, walaupun sebenarnya sangat rapuh tanpa adanya kawan.
Tuhan, suatu zat yang sangat aku percayai keadaannya. Namun, di sisi lain aku merasa bahwa aku tak pernah sekali pun merasakan bahwa Tuhan akan selalu bersamaku. Benar-benar ssuatu yang tak pernah tergenggam oleh logikaku. Terkadang jika aku perpikir secara ilmiah, Tuhan itu sangat sulit untuk dijelaskan dengan berbagai riset dan penelitian. Dan akhirnya aku tersadar bahwa cara unuk menunjukkan adanya Tuhan hanya dengan iman dan taqwa yang terus menjadi pondasi agar aku tak berjalan ke arah yang salah.
Malam ini adalah malam yang paling menyakitkan.
Aku terduduk membaca buku sejarah yang ada di hadapanku. Buku-buku ini adalah amunisi perangku persiapan debat besok. Mataku tertuju hanya pada buku ku yang kian lama kian tebal yang telah ku baca. Berkali-kali ku baca agar semakin dalam emahamanku dan semakin tajam setiap argumenku. Namun, sekilas kudengar suara yang mulai menggangguku. Aku memfokuskan diri akan buku-buku yang ada di hadapanku, namun sayang sekali itu tak berhasil. Aku mendengar isakan tangis seseorang. Suara yang tak asing bagiku. Jeritan itu memecahkan telingaku, itu jeritan ibu. Aku merasa penasaran apa yang terjadi dengannya, namun ia melarangku keluar dari kamar. Perlahan-lahan aku mendengar suara-suara pukulan. Aku mulai tahu, ayah dan ibu sedang bertengkar. Entah apa yang menyebabkan mereka bertengkar, namun seolah aku merasakan sakit yang begitu dalam. Aku mendengar suara benturan di pintu kamar itu. Ayah membenturkan kepala ibu, aku tak habis pikir mengapa ia tega melakukan itu. Logikaku terpecah, perasaan hancur berkeping-keping, batin menangis, air mata menetes.
Hari esok begitu tak ku inginkan. Berharap dunia terbelah dan menenggelamkan berjuta kenangan ini. Aku tak pernah berharap ini hilang, namun aku  berharap semua ini akan menjadikanku orang yang kuat. Jika teringat akan kejadian itu, aku hanya dapat menggelengkan epala berharap semua itu hanya bunga tidurku semata.
Aku tak pernah berkonsentrasi, aku hanya memikirkan apa yang dilakukan ayah semalam. Debatku gagal, aku yang selalu mejadi pemenang di setiap perdebatan bagaikan seorang pecundangyang dilemarkan ke tempat sampah. Aku tak dapat mengerti semua pelajaran. Sangat banyak orang yang mempertanyakan ada apa denganku, terlebih lagi para guru yang begitu melihat perubahanku.ini juga terjadi pada sahabatku, Rika.
“Eva, ada apa? Ada masalah ?”, tanya Rika sahabatku
“Ya?”, Aku terbangun dari lamunanku
“Ada apa? Ada masalah? Nampaknya hari ini kamu berbeda. Tak bersemangat, tak pernah tersenyum. Tidak seperti biasanya.”
Aku terdiam. Seluruh tubuhku bergetar. Tiba-tiba air mataku menetes. Aku berlari sekencang mungkin. Ingin ku lepaskan semua beban ini. Sekarang Rika pasti merasa kebingungan, namun aku tak dapat bercerita. Aku berjalan pulang dengan langkah gontai, dengan hati yang diselimuti kabut tebal.  Sosok pria di seberang jalan itu sangat misterius. Ia terus menatapku tajam, seolah ia tahu siapa aku. Namun, aku tak larut dalam rasa penasaranku ini. Aku terus berjalan tanpa melihatnya sedikit pun.
Hari-hariku tak seperti biasanya. Dulu aku tertawa, bersenda gurau, bercanda, dan merasakan kasih sayang yang berlimpah. Namun kini aku tak tahu harus memulai dari mana. Entah apa yang dapat kulakukan, semua berjalan tanpa adanya kasih sayang. Orang tuaku telah berpisah, menjalani hidup masing-masing layaknya tak saling kenal. Aku semakin tepuruk, terlebih Salsa tak lagi bersamaku. Tak tergapai dalam sebuah pergaulan dan keluarga.
Ayah pergi, aku tersesat.
Hidupku seperti sayur tanpa garam, tak sempurna tanpa sosok seorang ayah. Aku merasa bahwa aku hanya seonggok daging yang berjalan dan hanya punya nama. Bagiku, ini merupakan suatu titik di mana aku menjadi manusia yang tak memiliki fungsi. Namun, aku berpikir mungkin inilah jalannya. Aku semakin tak karuan, menjadi sosok dingin tak berperasaan. Hidup yang kujalani bagai tak berharga, tak ada gunanya. Untuk apa mempunyai segudang prestasi jika tak mendapatkan sesuatu yang istimewa dari yang terkasih. Kadang aku berpikir untuk mengakhiri semua ini. Namun sosok itu muncul, sosok orang yang begitu kusayangi. Ia adalah IBUKU.
Tidak ada yang mampu menggantikan posisi ayah dalam hidupku. Tidak akan ada yang mampu membuatku tenang saat aku sedang pusing persiapan lomba. Tidak akan ada yang akan bisa menegur seperti cara ayah menegurku saat aku melakukan kesalahan. Dan tidak akan ada yang mengelus kepalaku saat aku menjelang dalam lelap.
“Selamat malam, putri kecilku. Semoga peri mimpi selalu ada di sampingmu.”
Kalimat yang selalu ayah ucapkan di setiap malam ketika aku akan terlelap. Kini, yang  ada hanya bunyi jangkrik yang terdengar di balik jendela yang entah akan mengantarkan aku ke mimpi indah atau ke antah berantah.
Ayah, seiring waktu berjalan detik demi detik yang selalu engkau petik di tiap nafas dan engkau hembuskan bersama sejuta kasih sayang. Sosok ayah yang selalu menginginkan anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, lebih tidak tergantung pada siapapun, dan selalu membutuhkan kehadirannya.
Ayah, aku merindukanmu.
Ketika awan mulai bergerak, ketika langit mulai menggelap. Aku semakin tersesat.
Awan berarak mengikutiku. Membawaku pergi bagai daun yang tertiup angin. Semua canda tak lagi menjadi berarti, semua asa telah terbengkalai.  Aku menjadi tak menentu. Prestasiku telah hilang ditelan bumi. Aku bukanlah si murid teladan lagi, namun si pendiam tak berarti. Aku tak lagi menjadi murid kebanggaan ataupun teman yang baik, namun aku hanya seonggok daging berjalan. Aku tak pernah peduli dengan disekitarku. Batinku semakin menghilang.
Tatapan kosong selalu teruntai, selalu mengharapkan ia kembali. Terkadang berjalan tanpa arah, aku terduduk sedih, bermandikan rasa sepi, dan terbaring dalam kekosongan. Semua terlihat hitam putih tak berwarna. Semua impian yang selalu ingin kucapai telah sirna, telah pergi, terusir oleh beribu kebencian dan kepedihan di hati. Aku seperti tak berarti. Aku hanyalah pecahan kehidupan yang tak berguna, seperti sampah yang layaknya dibuang dari muka bumi.
Ketika awan tak lagi menjadi putih. Ketika gelap menyelimuti. Aku terperangkap bagai tak berarti. Secercah cahaya telah datang  menunjukkan jalan untuk membawaku pulang. Namun, aku memilih tetap tinggal bersama kenangan ini, bersama jutaan memori ini. Aku kadang melihat kenangan lampau yang begitu membahagiakan. Namun, memori itu muncul dan terus muncul seolah ingin mengingatkanku akan kejadian masa lampau. Ku berusaha melepaskan diri. Mencoba untuk berpaling. Namun, kenangan itu terus menghantui. Berbagai cara telah aku lakukan untuk melenyapkannya, namun berapa pun besarnya usahaku kenangan itu akan terus ada di hidupku dan akan menjadi kepingan-kepingan kisahku.
Pria itu muncul lagi.
Sosok itu terus muncul di tepi jalan setapak itu. Sosok yang tak asing bagiku. Ia pria itu, pria yang terus memerhatikanku sejak hari pertama aku tak bersemangat. Hari di mana ayah telah menghilang. Ia terus memerhatikanku bagai tak berkedip. Entah apa yang ia pikirkan, namun aku tak merasa penting untuk mengetahuinya. Aku tak peduli akan apa yang ia lakukan. Jangankan peduli akan apa yang ia lakukan, peduli untuk tahu siapa dia, aku tak mau. Dia terus di sana, menatapku dengan matanya yang  sendu. Ia berdiri tanpa melakukan apa-apa. Hanya terdiam dan menatapku, seolah ia mengerti betapa pedihnya aku.
Sore ini adalah sore yang indah bagi semua orang. Namun tidak bagiku, aku merasa semuanya tetap hitam, serasa semua telah mati dan meninggalkan tempat itu. Aku berjalan di jalan setapak ini. Langkah yang tak menentu menuntunku berada di sini. Aku merasa bahwa ada sesuatu di jalan ini. Kenangan yang samar-samar, namun tak dapat ku ingat dengan jelas.
“Hidup itu harus dinikmati, tak perlu disesali yang telah lalu. Jangan sia-siakan air mata itu hanya demi kenangan masa lampau”. Seseorang tiba-tiba mendekatiku dan berkata demikian. Aku berbalik dan terkejut saat mengetahui bahwa ternyata orang berkata itu adalah pria yang dari tadi terus memerhatikanku.
“Ada apa ? mengapa terkejut ?”, tanyanya
“Eee, tidak, tidak, tidak apa-apa”
“Aku lihat akhir-akhir ini kamu berbeda. Tidak seperti biasanya.”
“Hah ? mengapa kamu berkata seperti itu? , kamu tidak tahu siapa aku. Apa kamu selalu memerhatikanku?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ya, aku memang selalu memerhatikanmu. Kenapa ? Salah ?”, Ia berkata dengan begitu tenang.
“Tidak, tidak salah. Namun, aneh jika kamu memerhatikanku tanpa sebab”
“Bagiku tidak aneh. Harusnya kamu tidak perlu merasa aneh, karena wajar bukan jika seseorang memerhatikan sahabat kecilnya?”, jawabnya sambil tersenyum.
“Hah? Sahabat? Apa maksudmu?”. jawabku dengan sangat terkejut.
“Ya, Eva. Apakah kamu tidak mengenalku?”
“Tidak, dan bagaimana bisa kamu mengetahui namaku?”
“Bukankah aku telah katakan, aku sahabat kecilmu. Aku Sandy, teman lamamu. Aku yang selalu bermain bersamamu di jalan ini.”
“Aku sama sekali tak mengingat hal itu”
“Wajar, sangat wajar. Aku sudah pergi terlalu lama meninggalkan kamu. Sudah sangat lama, kira-kira 12 tahun lamanya.”
Aku mulai mengingat-ingat kembali kenangan yang samar-samar itu, namun tak satu pun yang dapat kuingat. Memoriku seakan terpecah karena rasa sakit ini.
“Aku..aku tidak ingat sama sekali.”
“Tak apa, aku hanya ingin satu hal”
“Apa?”
“Tolong jangan menangis lagi. Jadilah seperti dulu. Eva yang periang, penuh tawa, dan selalu menjadi gadis manis”. Ia berkata sambil tersenyum seolah ingin menghiburku.
“Ya”. Aku menjawab singkat dan beranjak pergi.
“Eva, mau ke mana ?”
“Pulang !”. Aku berusaha tampak tak peduli, namun ia berkata
“Baiklah, Sampai jumpa”, dia kembali tersenyum sembari melambaikan tangan kepadaku.
Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya, namun aku merasa orang itu memang pernah ada di dalam hidupku atau mungkin hanya dalam mimpiku. Aku terus berusaha mengingat kenangan itu, berharap itulah satu-satunya hal yang dapat membuatku kembali merasakan gairah hidup. Aku terus berjalan hingga aku terhenti ketika melihat anak-anak yang bermain di taman itu. Mereka terlihat begitu bahagia, aku tersenyum. Namun, setelah aku melihat mereka, kenangan samar-samar itu mulai terbentuk. Entah apa yang pernah terjadi antara aku dan pria bernama Sandi itu.
Ayah kini telah pergi, ibu tak lagi memperhatikanku, Bagas sibuk dengan urusan sekolah dan bandnya, sedangkan Salsa sibuk dengan teman-temannya. Aku semakin terpuruk dan terus terpuruk. Aku melihat tak ada lagi yang mau peduli kepadaku. Rika, yang dulu adalah sahabatku, kini pergi dengan gadis-gadis populer di sekolah. Ia tak lagi mau berteman denganku, gadis dingin dan tak tahu cara bergaul.
Hidupku benar-benar kacau dengan hilangnya mereka yang benar-benar aku sayangi. Aku semakin merasa bahwa aku memang tak layak hidup. Panggilan-panggilan jiwa yang terus membelengguku, membawaku terhanyut dalam buaian mimpi. Aku hampir menghilangkan nyawaku. Aku berharap kematian dapat merenggut seluruh nawaku beserta kenangan yang seharusnya hilang sejak dulu.
Saat itu ku berjalan di tepi jalan raya di dekat sekolah. Aku merasa benar-benar tak berdaya. Aku kehilangan mereka. Aku tak mempunyai siapa-siapa. Hidupku terombang-ambing tak menentu. Aku berjalan di tengah jalan raya itu, aku hampir terlindas mobil truk pengangkut barang yang melaju kencang dari arah barat. Namun seseorang telah menyelamatkanku. Ia adalah Sandy. Pria yang selalu memerhatikanku. Pria yang berkata bahwa ia adalah sahabat kecilku. Aku terselamatkan.
“Apa yang kamu lakukan ? kamu ingin mati?”. Ia membentakku dengan nada seperti orang yang sangat khawatir.
Aku hanya terdiam dan menatapnya. Aku mengingatnya, ia adalah Sandy Pratmojo, sahabat kecilku yang selalu menemaniku bermain di jalan setapak itu.
“Sandi? Sandi Pratmojo?”. Kataku tak percaya.
“Ya, kamu mulai mengingatku?”
“Ya. Iya, aku mengingatnya”. Untuk pertama kalinya aku tersenyum dan merasa aku mempunyai alasan untuk hidup. Masih ada Sandi yang menemaniku.
Aku mulai tertawa, selalu merasa bahagia bersamanya. Ia memanglah Sandi, Sandi sahabatku yang sangat mengerti aku. Ialah alasanku untuk bertahan melalui semua terpaan badai yang selalu datang menghantuiku. Aku sangat mengharapkan ia akan bersamaku selamanya. Aku sangat menyayanginya, ia aku anggap seperti kakakku sendiri. Begitupun Sandi, yang menganggapku seperti adiknya sendiri. Ia menyayangiku, menjagaku, dan merawatku. Aku sangat senang ia berada di hidupku. Sahabat yang terus membuat aku bertahan, sahabat yang terus menjaga dan selalu member motivasi yang kuat.
Aku kembali ke rumah malam itu. Tempat yang seperti neraka bagiku. Di rumah ini, rumah yang dulunya penuh kenangan-kenangan indah yang terlukis di tiap sudut rumah. Kini, rumah ini seperti neraka, aku mengerjakan semua pekerjaan layaknya pembantu yang tak dihargai keberadaannya. Aku kadang tak tidur hanya untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
“Dasar pemalas, tak tahu terima kasih. Aku telah merawatmu dengan baik. Sekarang, kamu harus melayaniku. Tapi, apa yang kamu berikan ? hanya air mata mu yang tak berguna!”. Bentak ibu bagai tak berperasaan.
Aku terus menangis, hingga….plakk !! jari ibu yang dulu mengusap pipiku, memelukku, kini menamparku seperti binatang. Aku terus menangis. Ingin ku ledakkan semua rasa sakitku ini, namun aku tak punya daya. Aku tak pernah berani mengeluarkan semua yang ada di hatiku. Aku hanya memendamnya hingga membatu di dalam sana.
Esok adalah hari yang paling aku nantikan. Aku akan berusia 17 tahun. Aku mengharapkan ucapan selamat dari ibu. Namun, yang aku dapatkan bukanlah kata selamat, melainkan caci maki yang selalu ia lontarkan tiap hari. Aku semakin sedih, ibu melupakan hari ulang tahunku. Siang itu, Sandi datang dan membawaku ke jalan setapak itu. Di sana ku lihat sebuah kue dan boneka. Di atas kue itu bertuliskan kata “SELAMAT ULANG TAHUN” dengan lilin berangka “17”. Aku sangat terkejut. Orang yang aku anggap tak berarti dulu, ternyata adalah satu-satunya orang yang sangat mengerti keadaanku. Ia memberikanku boneka beruang dan sebuah kotak musik dengan lagu yang indah di dalamnya. Aku sangat senang. Namun, aku tetap merasa sedih karena ibu tak lagi ingat padaku.
Hari terus berlanjut. Aku tetap seperti pembantu di rumahku, namun bagai permata di samping Sandi. Baginya, aku lebih berharga dibandingkan permata. Aku sangat tersanjung saat mendengar kata-kata itu. Aku tak tahu bahwa aku sangat penting baginya.
Aku kembali kehilangan. Ini membuatku semakin tak berdaya.
Siang itu, Sandi akan menjemputku dari sekolah. Aku menunggunya dengan sangat gembira. Ia muncul dengan motor besarnya itu. Baru beberapa detik ketika aku ingin menyapanya, tiba-tiba mobil sedan dari arah berlawanan yang melaju kencang menabraknya. Aku sangat terkejut. Aku berlari dan segera menolongnya. Orang-orang mulai berkerumun. Seseorang telah menelpon ambulans. Sandi semakin sekarat. Sandi menggenggam tanganku dan membuka matanya perlahan seraya berkata “AKU SANGAT MENYAYANGIMU EVA, Aku…” belum sempat kalimat itu ia selesaikan, detak jantungnya berhenti, nafasnya tak berhembus lagi. Entah apa yang ada di pikiranku, ia adalah satu-satunya alasanku bertahan hidup, satu-satunya alasanku untuk tetap berada di dunia ini menghadapi semua masalah hidupku. Namun, kata-katanya yang terakhir membuatku mengerti betapa ia menyayangiku. Aku menangis tanpa henti. Wajahnya yang berlumuran darah tetap dihiasi senyumannya yang manis, senyuman yang ia selalu berikan untuk menghiburku, senyuman yang selalu dapat menenangkanku.
Aku pulang dalam neraka.
Setelah kejadian itu, hidupku seperti pada awalnya lagi. Tak ada senyum, canda, tawa, atau apapun itu. Yang ada hanya cacian dari ibu, ledekan dari teman, bahkan aku merasa terkucilkan di dalam keluargaku. Aku tak lagi keluar kemana-mana selain ke sekolah. Aku habiskan seluruh waktuku untuk duduk di balik jendela kamarku. Jendela bertirai renda yang menghadap langsung kepada jalan setapak tempatku bermain bersamanya. Iya, ia Sandy sahabatku, ia Sandy kakakku. Ia yang membuatku bertahan, yang membuatku kembali merasakan kehidupan. Kini tanpanya, aku hanya raga tanpa nyawa.
Tuhan itu adil ? Menurutku tidak! Jika memang dia adil, mengapa ia renggut semua kebahagiaanku ? Mengapa ia biarkan aku terpuruk dalam kesendirianku ? Mengapa ia tak memberikanku kebahagiaan seperti yang ia berikan pada orang-orang di sekitarku ? Mengapa ? Tuhan memang tak adil. Aku tak pernah berharap aku mendapatkan harta yang berlimpah, emas yang menggunung, atau dikenal hingga pelosok-pelosok dunia. Tidak, aku tidak berharap begitu. Yang aku harapkan hanyalah Tuhan memberikan aku kebahagiaan dengan memberikan aku orang-orang yang dapat memberikanku kasih sayang.
Sebuah surat kecil, sebuah kenangan.
Malam ini aku terus terdiam. Ini adalah malam kedua sejak kepergian Sandi. Aku teringat dengan sebuah kotak musik yang ia berikan padaku sebelum ia pergi jauh menuju surga dan tak mungkin datang ke hadapan ku untuk menebarkan senyuman. Perlahan aku membuka kotak musik itu, ku perhatikan semakin dalam hingga ku temukan secarik kertas merah mudah yang sangat cantik. Kartu ucapankah?. Kertas itu ku buka dan ku baca.
Eva, aku sangat menyayangimu, aku menyayangimu lebih dari apapun. Aku tahu mungkin aku salah karena baru mengabarimu sekarang, aku seharusnya tak lama meninggalkan kamu. Aku menganggapmu seperti adikku. Adikku yang selalu membuatku tersenyum dengan tingkah lucunya disetiap waktu. Eva, aku ingin kamu tahu, semua yang telah terjadi antara kita adalah hal yang tak akan pernah aku lupakan. Aku mengerti mengapa kamu dulu bersedih. Itu karena ayahmu bukan ??....”. Aku terhenti untuk membacanya. Bagaimana ia tahu ini semua karena ayah ? Padahal selama ini aku tak pernah bercerita. Rasa penasaran mulai memuncak dipikiranku. Aku mulai melanjutkan.
“….aku mengetahuinya, karena aku melihat saat ayah kamu memperlakukan ibumu dengan sangat kasar. Malam itu aku berniat untuk menemuimu. Namun, ku dengar suara teriakan yang terdengar sangat tersiksa. Ia ibumu. Aku melihat ayahmu memukuli ibumu tanpa ampun, ia seperti dirasuki roh jahat yang terus berusaha untuk membunuh ibumu. Eva, semua itu hanyalah kenangan lama, biarlah ia berlalu bersama semua kenangan pahit sebelum atau sesudahnya. Jangan pernah menangis, teruslah tersenyum, karena SENYUMANMU yang menguatkan aku. SELAMAT ULANG TAHUN EVA
Salam sayang dariku, Sandi”
Setelah membaca semua itu, aku merasa bahwa Sandimemang ingin melihatku bahagia. Namun aku tak akan pernah bahagia tanpa orang yang dapat menyayangiku, tanpa orang yang dapat peduli kepadaku. Cukup sampai di sini perjuanganku, ku biarkan kehidupan yang membentuk nasibku. Ku biarkan seluruh jiwa ku terperangkap dalam angan yang melayang dan menghilang.
Akhir sebuah perjuangan.
Pengharapan tak kunjung menuai hasil. Sebuah tanya yang terlintas terus menggunung tanpa henti. Tenggelamnya aku dalam lautan air mata. Berusaha menepi dan merasakan kebahagiaan. Jatuh ke lembah keterpurukan membuatku tak berdaya. Aku masih di sini, di balik kepalsuan ini. Aku terus berdiri, dengan setitik harapan yang tak pasti. Aku terus berlari, mengejar sesuatu yang telah mati. Akankah aku akan pulih ? Akankah semua ini berakhir ?
Terjebak dalam kegelapan membuatku buta akan harapan. Tak pernah menggapai asa dan hilang tanpa jejak. Terhempas tubuhku menerjang ombak kepedihan. Terus menggapai angan yang tak kunjung tergenggam. Ketika angan telah hilang, ketika cinta telah pudar. Ketika sayup kepedihan telah datang, membawaku pergi bersama luka.
Jiwa sepi ini tak lagi merintih. Jiwa sepi ini tak lagi memanggil. Jiwa sepi ini mulai berpaling. Dan akhirnya jiwa sepi ini MATI.
Raga ini mulai melemah. Tak mampu berlari jauh menemuimu. Raga ini hanya bisa terdiam. Tak bergerak, kaku bagai patung yang tak berharga. Bibir ini tak lagi mampu memanggilmu. Memanggilmu untuk kembali menopang hidupku. Tangan ini tak lagi mampu menggapaimu. Merentangkan kenangan yang mampu mengembalikan logikaku. Mata ini tak lagi mampu melihatmu. Melihat senyuman manis yang dapat menyemangatiku. Telinga ini tak lagi mampu mendengar suaramu, candamu, nasehatmu, bahkan kekesalanmu.
Mataku menjadi buta tanpa melihatmu. Bibirku menjadi bisu tanpa memanggil namamu. Telingaku menjadi tuli tanpa mendengar suaramu. Tubuhku terbujur kaku tanpa ada kamu yang menopangku. Jiwaku terasa hampa tanpa ada kamu yang memberinya nyawa. Aku kini merasa sangat sendirian. Bagai hidup di dalam kekosongan. Aku masih terdiam di sudut hati yang paling terjal. Aku masih membisu di antara kebisingan hidup. Kini, hidupku hanya seperti kotoran di ujung jari. Yang menjadi penghalang. Yang membuat kehidupan tak terlihat indah.
Perlawanan dan semua usahaku menerjang badai kehidupan hanyalah sia-sia. Ketika aku telah bangkit dan kembali memiliki gairah hidup, aku harus terjatuh lebih keras dan semakin keras dari sebelumnya. Awalnya aku di tingkat kebahagiaan, lalu terjatuh tak jauh dari sana. Harapan kembali muncul dan membawaku ke tingkat kebahagiaan yang paling atas. Namun siapa sangka? aku harus terjatuh dengan sangat keras pada tingkat yang paling bawah.
Aku cukup di sini. Di balik kekosongan ini. Di balik semua kepalsuan ini. Mungkin mereka menganggap dirinya manusia. Namun bagiku, mereka hanyalah iblis dengan rupa yang menawan. Mereka tak berperasaan. Mereka tak menghargai sebuah kehidupan. Mereka tak peduli pada orang yang di bawah. Mereka adalah IBLIS berwajah MALAIKAT. Mereka serigala berbulu domba.












EPILOG
“Aku kini telah hilang. Bukan ragaku, namun jiwaku. Jiwaku terbang mencari kebahagiaan. Meninggalkan ragaku yang tak karuan, yang terombang-ambing tanpa kasih sayang. Kehidupan hanya latar belakang aku dan kepedihan. Mereka bersandiwara dalam teater kesengsaraan. Aku hanya sebagai pembantu di dalamnya. Yang harus tertindas oleh luapan api yang keluar dari mulut mereka. Sebuah cerita sedih mereka perankan dengan rupa yang menawan. Namun, itu hanya kebohongan. Hanya kepalsuan. Wajah malaikat mereka mengelabuiku untuk masuk ke jurang kesengsaraan. Aku kini sendiri. Terperangkap dalam sedih. Yang bermandikan luapan air mata. Yang terbaring di atas pecahan-pecahan kenangan yang tersembunyi. Yang menatap lurus sebuah tepi, berharap semua berhenti di sini. Aku ingin pergi, pergi menyusul yang sangat aku sayangi. Namun, apakah mungkin aku tiba di sana ? di tempat ia berada. Kini  aku sadari bahwa aku masih tetap tinggal di sini. Ragaku masih di sini. Namun jiwaku tak akan pernah terduduk di sini. Ragaku masih terdiam, terduduk sedih di balik jendela bertirai renda dan bersembunyi DALAM LOGIKA”
Akulah gadis kecil yang terjebak dalam logika.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar