Awan mulai bergerak perlahan di sana, seolah waktu
berjalan perlahan pula. Gerakan itu membentuk para awan menjadi sangat
mempesona. Melukiskan beribu kenangan yang teruntai sejak aku menghirup udara
kehidupan.
Aku terduduk merenungkan jalan hidup yang penuh liku,
menantang batin, bahkan menghancurkan asa terbesarku. Hatiku menjerit. Jeritan
itu memecahkan logikaku untuk berpikir lebih jauh. Jejak-jejak kecil yang dulu
milikku, memiliki beribu bahkan jutaan impian yang menggunung. Kini sosok kecil
itu berubah menjadi gadis tanpa harapan, tanpa impian, dan kosong dalam logika.
Jiwa yang kosong diterpa sentuhan lembut angin ini
mengingatkanku akan sebuah kejadian lampau yang terukir hingga tetap menjadi
memori yang tak terlupakan, memori yang hanya ku rasakan sendiri dengan batin
yang makin menghilang. Hampanya hidup terasa makin mendalam, bahkan lebih dalam
dibandingkan palung lautan. Hidupku terasa pincang bagaikan biola yang tak
berdawai, bagai sayur tanpa garam. Tak menggenggam nalarku untuk tetap mengerti
hal ini. Tak melihat dengan mata, tak mendengar dengan telinga, bahkan tak
mampu mengucap kata untuk teruntai di setiap bibir ini terbuka.
Sayup-sayup keheningan terjadi lagi, namun malam ini
terasa berbeda, sebuah tanya kembali terlintas di benakku. Aku memandang
gelapnya langit di sana, seolah akan menemukan jawaban dengan beribu tanya di
kepalaku. Tak ada bintang malam ini, bahkan bulan tak lagi datang menemani
malam yang sunyi ini.
Sosok gadis kecil terduduk di balik jendela bertirai
renda yang terurai menutupi kacanya. Isak tangisnya terdengar begitu
menimbulkan tanya. Wajahnya yang manis tak nampak sedikit pun bagai ditelan
kekosongan. Derai air matanya tak henti mengalir, bak aliran sungai yang
mengalir deras ke muara. Terkadang aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan,
sesuatu yang begitu dalam sehingga dapat membuatnya menangis tanpa henti. Aku
semakin tenggelam dengan beribu pertanyaan di kepalaku. Seakan ingin meledak
dan mencari jawaban yang pasti. Aku tak habis pikir, sosok periang ini dapat
menangis seperti itu. Sosok yang selalu tertawa, bercanda, bahkan terlihat
seperti tak ada alasan untuk merasakan kepedihan.
“ayah !”, desahnya perlahan
Wajah sedih itu tiba-tiba berubah menjadi geram, entah
apa yang terjadi. Namun, aku hanya dapat memandangnya sembari terus bertanya
dalam hati “Akankah senyumannya terbit lagi?”. Entah, hanya Tuhan yang tahu apa
jadinya.
Terpaan angin dingin malam ini begitu menghanyutkan.
Merasuk ke dalam sanubari dan menghunus serpihan perih. Pandangannya lurus
menatap keluar, melihat berjuta kenangan lampau di sana. Tetes demi tetes air
matanya kembali jatuh, isak tangisnya kembali terdengar. Ia menjadi tak
terkendali, terbuai emosi yang siap meledak kapan saja.
Senja mulai terbenam,awan menjadi hitam tak terlihat
bersahabat. Gadis kecil itu berlari. Berlari kencang dari semua yang
tersembunyi. Ia semakin terbengkalai. Kadang duduk menyendiri, melamun hingga
tak mengenal waktu. Namun itu lah dia, gadis kecil tanpa harapan
Sang gadis kecil mulai
bercerita.
Masih aku ingat saat ayah dan ibu memberikan pelukannya
malam itu. Kecupan manis dari ibu mengantarkanku dalam mimpi indah, senyumannya
membuatku sangat tenang. Hari-hariku terasa sangat sempurna, terasa seperti di
surga. Mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan segalanya dari orang tuaku.
Saat itu aku merasa akulah anak yang paling beruntung.
Ibu sedang mengandung anak ketiga calon adikku. Aku
selalu berharap mendapatkan adik bayi yang lucu yang akan bermain bersamaku.
Sore itu, aku dan keluargaku berada di R.S Harapan, tempat ibuku akan melakukan
persalinan. Aku, ayah, dan adikku Bagas menunggu dengan rasa was-was akan
hadirnya sang calon bayi.
Tangisannya terdengar, aku sangat senang.
“Hah ? inikah saatnya ? inikah saat lahirnya adikku ? aku
akan kembali menjadi seorang kakak ?”, batinku.
Saat kami menunggu dengan rasa penasaran, dokter keluar
seraya berkata “Anaknya perempuan !”. Betapa aku sangat senang, akhirnya aku
memiliki adik perempuan. Aku memeluk ayah dengan sangat erat, berharap ayah
akan merasakan betapa senangnya aku akan kehadiran adikku. Ayah hanya tersenyum
seolah memberi tanda mengerti kepadaku.
“Namanya siapa bu ?”, tanyaku
“Salsa, Salsa Putri Gayatri”
“Nama yang indah”. Aku berkata sambil mengelus pipi
mungil adikku.
Tiga tahun berlalu setelah kelahiran adikku, Salsa. Ya,
itulah namanya. Gadis kecil mungil yang menjadi teman bermainku sepulang
sekolah. Ia sangat manis dengan pakaian yang ia kenakan hari ini, baju berwarna
merah muda dengan pita kecil di depannya. Ia adikku tersayang. Aku menghabiskan
semua waktuku untuknya, selain kepentinganku yang lain. Selain sekolah dan
belajar, waktuku hanya untuk Salsa. Namun, aku tak pernah suka dengan adikku
Bagas. Anak yang selalu menggangguku dengan berbagai keusilannya yang selalu ia
anggap lucu. Aku tak pernah merasa senang jika ia ada di dekatku. Ialah
satu-satunya orang yang kuharapkan tak pernah lahir di dunia ini. Bagas adalah
anak kedua setelah aku, anak yang katanya akan tumbuh perkasa. Namun, menurutku
itu sama sekali tak benar, bahkan tak ada benarnya. Karena dia hanya orang tak
peduli orang lain, yang terus melempar semua kesalahannya padaku. Aku sangat
membencinya.
Salsa kini bersekolah tingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Ia
bermain, bergaul, dan memiliki banyak teman. Aku sangat senang melihatnya. Adik
kecilku kini telah memiliki banyak teman. Tak seperti dulu, ia hanya bermain
denganku.
Ibuku adalah sosok wanita hebat yang mengurus rumah
tangga, bekerja, bahkan masih menekuni dunia seni. Ibuku adalah seorang penyanyi.
Ia juga adalah seorang perenang. Kini, ia lebihsering menghabiskan waktunya untuk
keluarga. Bukan karena tak bekerja lagi, namun ia lebih ingin menghabiskan
waktunya bersama keluarga.
Ayahku adalah sosok pria yang keras. Ia adalah seorang
pekerja keras. Aku bangga menjadi anak mereka. Namun aku sangat menyayangkan
sifat keras ayah yang selalu menekanku untuk belajar, belajar dan hanya
belajar. Yang ia pikirkan hanya bagaimana aku menjadi anak yang cerdas dan
teladan. Aku tahu ayah melakukan ini untuk kebaikanku, dan hasilnya aku selalu
berprestasi. Hal ini membuatku menjadi murid teladan. Namun, dibalik semua
prestasiku ini, aku merasa bahwa aku tidak seperti anak lain yang bisa bergaul,
jalan-jalan, dan mendapatkan banyak teman. Aku merasa terkekang.
Canda tawa yang selalu menghiasi seisi rumah kadang
menjadi suatu hal yang dapat membuat rumh sesak karenanya. Terlalu banyak
kesenangan dan kasih sayang. Sebuah keluarga sederhana ini yang menjadikanku
seorang gadis yang kuat dengan berjuta cinta dari mereka. Kadang ada pertengkaran
antara Aku dan Bagas. Namun, ayah selalu tahu cara untuk membuat kami kembali
berbaikan. Senyuman ibu yang begitu meneduhkan membuat hati siapa pun akan
terlena karenanya.
Salsa kini telah menjadi gadis yang memiliki banyak
teman, tidak sepertiku yang hanya ditemani buku-buku usang di depanku. Salsa
semakin hilang dari hidupku, tak pernah lagi hadir dalam setiap kesepianku.
Ayah dan ibu kini semakin sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedangkan aku,
hanya menyendiri dengan berbagai pembahasan soal yang ada di hadapanku ini.
Rasa sepi seringkali datang menghapiri dengan berjuta kawannya yang tak pernah
pergi. Ketekunan dan segala lapisan tekad masih terpendam di hatiku. Ak ingin
membuktikan bahwa aku adalah seorang gadis yang kuat dan berprestasi, walaupun
sebenarnya sangat rapuh tanpa adanya kawan.
Tuhan, suatu zat yang sangat aku percayai keadaannya.
Namun, di sisi lain aku merasa bahwa aku tak pernah sekali pun merasakan bahwa
Tuhan akan selalu bersamaku. Benar-benar ssuatu yang tak pernah tergenggam oleh
logikaku. Terkadang jika aku perpikir secara ilmiah, Tuhan itu sangat sulit
untuk dijelaskan dengan berbagai riset dan penelitian. Dan akhirnya aku
tersadar bahwa cara unuk menunjukkan adanya Tuhan hanya dengan iman dan taqwa
yang terus menjadi pondasi agar aku tak berjalan ke arah yang salah.
Malam ini adalah malam yang
paling menyakitkan.
Aku terduduk membaca buku sejarah yang ada di hadapanku.
Buku-buku ini adalah amunisi perangku persiapan debat besok. Mataku tertuju
hanya pada buku ku yang kian lama kian tebal yang telah ku baca. Berkali-kali
ku baca agar semakin dalam emahamanku dan semakin tajam setiap argumenku.
Namun, sekilas kudengar suara yang mulai menggangguku. Aku memfokuskan diri
akan buku-buku yang ada di hadapanku, namun sayang sekali itu tak berhasil. Aku
mendengar isakan tangis seseorang. Suara yang tak asing bagiku. Jeritan itu
memecahkan telingaku, itu jeritan ibu. Aku merasa penasaran apa yang terjadi
dengannya, namun ia melarangku keluar dari kamar. Perlahan-lahan aku mendengar
suara-suara pukulan. Aku mulai tahu, ayah dan ibu sedang bertengkar. Entah apa
yang menyebabkan mereka bertengkar, namun seolah aku merasakan sakit yang
begitu dalam. Aku mendengar suara benturan di pintu kamar itu. Ayah
membenturkan kepala ibu, aku tak habis pikir mengapa ia tega melakukan itu.
Logikaku terpecah, perasaan hancur berkeping-keping, batin menangis, air mata
menetes.
Hari esok begitu tak ku inginkan. Berharap dunia terbelah
dan menenggelamkan berjuta kenangan ini. Aku tak pernah berharap ini hilang,
namun aku berharap semua ini akan
menjadikanku orang yang kuat. Jika teringat akan kejadian itu, aku hanya dapat
menggelengkan epala berharap semua itu hanya bunga tidurku semata.
Aku tak pernah berkonsentrasi, aku hanya memikirkan apa
yang dilakukan ayah semalam. Debatku gagal, aku yang selalu mejadi pemenang di
setiap perdebatan bagaikan seorang pecundangyang dilemarkan ke tempat sampah. Aku
tak dapat mengerti semua pelajaran. Sangat banyak orang yang mempertanyakan ada
apa denganku, terlebih lagi para guru yang begitu melihat perubahanku.ini juga
terjadi pada sahabatku, Rika.
“Eva, ada apa? Ada masalah ?”, tanya Rika sahabatku
“Ya?”, Aku terbangun dari lamunanku
“Ada apa? Ada masalah? Nampaknya hari ini kamu berbeda.
Tak bersemangat, tak pernah tersenyum. Tidak seperti biasanya.”
Aku terdiam. Seluruh tubuhku bergetar. Tiba-tiba air mataku
menetes. Aku berlari sekencang mungkin. Ingin ku lepaskan semua beban ini.
Sekarang Rika pasti merasa kebingungan, namun aku tak dapat bercerita. Aku
berjalan pulang dengan langkah gontai, dengan hati yang diselimuti kabut tebal.
Sosok pria di seberang jalan itu sangat
misterius. Ia terus menatapku tajam, seolah ia tahu siapa aku. Namun, aku tak larut
dalam rasa penasaranku ini. Aku terus berjalan tanpa melihatnya sedikit pun.
Hari-hariku tak seperti biasanya. Dulu aku tertawa,
bersenda gurau, bercanda, dan merasakan kasih sayang yang berlimpah. Namun kini
aku tak tahu harus memulai dari mana. Entah apa yang dapat kulakukan, semua
berjalan tanpa adanya kasih sayang. Orang tuaku telah berpisah, menjalani hidup
masing-masing layaknya tak saling kenal. Aku semakin tepuruk, terlebih Salsa
tak lagi bersamaku. Tak tergapai dalam sebuah pergaulan dan keluarga.
Ayah pergi, aku tersesat.
Hidupku seperti sayur tanpa garam, tak sempurna tanpa
sosok seorang ayah. Aku merasa bahwa aku hanya seonggok daging yang berjalan
dan hanya punya nama. Bagiku, ini merupakan suatu titik di mana aku menjadi
manusia yang tak memiliki fungsi. Namun, aku berpikir mungkin inilah jalannya.
Aku semakin tak karuan, menjadi sosok dingin tak berperasaan. Hidup yang
kujalani bagai tak berharga, tak ada gunanya. Untuk apa mempunyai segudang
prestasi jika tak mendapatkan sesuatu yang istimewa dari yang terkasih. Kadang
aku berpikir untuk mengakhiri semua ini. Namun sosok itu muncul, sosok orang
yang begitu kusayangi. Ia adalah IBUKU.
Tidak ada yang mampu menggantikan posisi ayah dalam
hidupku. Tidak akan ada yang mampu membuatku tenang saat aku sedang pusing
persiapan lomba. Tidak akan ada yang akan bisa menegur seperti cara ayah
menegurku saat aku melakukan kesalahan. Dan tidak akan ada yang mengelus
kepalaku saat aku menjelang dalam lelap.
“Selamat malam, putri kecilku. Semoga peri mimpi selalu
ada di sampingmu.”
Kalimat yang selalu ayah ucapkan di setiap malam ketika aku
akan terlelap. Kini, yang ada hanya
bunyi jangkrik yang terdengar di balik jendela yang entah akan mengantarkan aku
ke mimpi indah atau ke antah berantah.
Ayah, seiring waktu berjalan detik demi detik yang selalu
engkau petik di tiap nafas dan engkau hembuskan bersama sejuta kasih sayang.
Sosok ayah yang selalu menginginkan anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan
daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, lebih tidak tergantung
pada siapapun, dan selalu membutuhkan kehadirannya.
Ayah, aku merindukanmu.
Ketika awan mulai bergerak,
ketika langit mulai menggelap. Aku semakin tersesat.
Awan berarak mengikutiku. Membawaku pergi bagai daun yang
tertiup angin. Semua canda tak lagi menjadi berarti, semua asa telah
terbengkalai. Aku menjadi tak menentu.
Prestasiku telah hilang ditelan bumi. Aku bukanlah si murid teladan lagi, namun
si pendiam tak berarti. Aku tak lagi menjadi murid kebanggaan ataupun teman
yang baik, namun aku hanya seonggok daging berjalan. Aku tak pernah peduli
dengan disekitarku. Batinku semakin menghilang.
Tatapan kosong selalu teruntai, selalu mengharapkan ia
kembali. Terkadang berjalan tanpa arah, aku terduduk sedih, bermandikan rasa
sepi, dan terbaring dalam kekosongan. Semua terlihat hitam putih tak berwarna.
Semua impian yang selalu ingin kucapai telah sirna, telah pergi, terusir oleh
beribu kebencian dan kepedihan di hati. Aku seperti tak berarti. Aku hanyalah
pecahan kehidupan yang tak berguna, seperti sampah yang layaknya dibuang dari
muka bumi.
Ketika awan tak lagi menjadi putih. Ketika gelap
menyelimuti. Aku terperangkap bagai tak berarti. Secercah cahaya telah datang menunjukkan jalan untuk membawaku pulang.
Namun, aku memilih tetap tinggal bersama kenangan ini, bersama jutaan memori
ini. Aku kadang melihat kenangan lampau yang begitu membahagiakan. Namun,
memori itu muncul dan terus muncul seolah ingin mengingatkanku akan kejadian
masa lampau. Ku berusaha melepaskan diri. Mencoba untuk berpaling. Namun,
kenangan itu terus menghantui. Berbagai cara telah aku lakukan untuk
melenyapkannya, namun berapa pun besarnya usahaku kenangan itu akan terus ada
di hidupku dan akan menjadi kepingan-kepingan kisahku.
Pria itu muncul lagi.
Sosok itu terus muncul di tepi jalan setapak itu. Sosok
yang tak asing bagiku. Ia pria itu, pria yang terus memerhatikanku sejak hari
pertama aku tak bersemangat. Hari di mana ayah telah menghilang. Ia terus
memerhatikanku bagai tak berkedip. Entah apa yang ia pikirkan, namun aku tak
merasa penting untuk mengetahuinya. Aku tak peduli akan apa yang ia lakukan.
Jangankan peduli akan apa yang ia lakukan, peduli untuk tahu siapa dia, aku tak
mau. Dia terus di sana, menatapku dengan matanya yang sendu. Ia berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Hanya terdiam dan menatapku, seolah ia mengerti betapa pedihnya aku.
Sore ini adalah sore yang indah bagi semua orang. Namun
tidak bagiku, aku merasa semuanya tetap hitam, serasa semua telah mati dan
meninggalkan tempat itu. Aku berjalan di jalan setapak ini. Langkah yang tak
menentu menuntunku berada di sini. Aku merasa bahwa ada sesuatu di jalan ini.
Kenangan yang samar-samar, namun tak dapat ku ingat dengan jelas.
“Hidup itu harus dinikmati, tak perlu disesali yang telah
lalu. Jangan sia-siakan air mata itu hanya demi kenangan masa lampau”. Seseorang
tiba-tiba mendekatiku dan berkata demikian. Aku berbalik dan terkejut saat
mengetahui bahwa ternyata orang berkata itu adalah pria yang dari tadi terus
memerhatikanku.
“Ada apa ? mengapa terkejut ?”, tanyanya
“Eee, tidak, tidak, tidak apa-apa”
“Aku lihat akhir-akhir ini kamu berbeda. Tidak seperti
biasanya.”
“Hah ? mengapa kamu berkata seperti itu? , kamu tidak
tahu siapa aku. Apa kamu selalu memerhatikanku?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ya, aku memang selalu memerhatikanmu. Kenapa ? Salah ?”,
Ia berkata dengan begitu tenang.
“Tidak, tidak salah. Namun, aneh jika kamu memerhatikanku
tanpa sebab”
“Bagiku tidak aneh. Harusnya kamu tidak perlu merasa
aneh, karena wajar bukan jika seseorang memerhatikan sahabat kecilnya?”,
jawabnya sambil tersenyum.
“Hah? Sahabat? Apa maksudmu?”. jawabku dengan sangat
terkejut.
“Ya, Eva. Apakah kamu tidak mengenalku?”
“Tidak, dan bagaimana bisa kamu mengetahui namaku?”
“Bukankah aku telah katakan, aku sahabat kecilmu. Aku
Sandy, teman lamamu. Aku yang selalu bermain bersamamu di jalan ini.”
“Aku sama sekali tak mengingat hal itu”
“Wajar, sangat wajar. Aku sudah pergi terlalu lama meninggalkan
kamu. Sudah sangat lama, kira-kira 12 tahun lamanya.”
Aku mulai mengingat-ingat kembali kenangan yang
samar-samar itu, namun tak satu pun yang dapat kuingat. Memoriku seakan
terpecah karena rasa sakit ini.
“Aku..aku tidak ingat sama sekali.”
“Tak apa, aku hanya ingin satu hal”
“Apa?”
“Tolong jangan menangis lagi. Jadilah seperti dulu. Eva
yang periang, penuh tawa, dan selalu menjadi gadis manis”. Ia berkata sambil
tersenyum seolah ingin menghiburku.
“Ya”. Aku menjawab singkat dan beranjak pergi.
“Eva, mau ke mana ?”
“Pulang !”. Aku berusaha tampak tak peduli, namun ia
berkata
“Baiklah, Sampai jumpa”, dia kembali tersenyum sembari
melambaikan tangan kepadaku.
Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya, namun aku
merasa orang itu memang pernah ada di dalam hidupku atau mungkin hanya dalam
mimpiku. Aku terus berusaha mengingat kenangan itu, berharap itulah
satu-satunya hal yang dapat membuatku kembali merasakan gairah hidup. Aku terus
berjalan hingga aku terhenti ketika melihat anak-anak yang bermain di taman
itu. Mereka terlihat begitu bahagia, aku tersenyum. Namun, setelah aku melihat
mereka, kenangan samar-samar itu mulai terbentuk. Entah apa yang pernah terjadi
antara aku dan pria bernama Sandi itu.
Ayah kini telah pergi, ibu tak lagi memperhatikanku,
Bagas sibuk dengan urusan sekolah dan bandnya, sedangkan Salsa sibuk dengan
teman-temannya. Aku semakin terpuruk dan terus terpuruk. Aku melihat tak ada
lagi yang mau peduli kepadaku. Rika, yang dulu adalah sahabatku, kini pergi
dengan gadis-gadis populer di sekolah. Ia tak lagi mau berteman denganku, gadis
dingin dan tak tahu cara bergaul.
Hidupku benar-benar kacau dengan hilangnya mereka yang
benar-benar aku sayangi. Aku semakin merasa bahwa aku memang tak layak hidup.
Panggilan-panggilan jiwa yang terus membelengguku, membawaku terhanyut dalam
buaian mimpi. Aku hampir menghilangkan nyawaku. Aku berharap kematian dapat
merenggut seluruh nawaku beserta kenangan yang seharusnya hilang sejak dulu.
Saat itu ku berjalan di tepi jalan raya di dekat sekolah.
Aku merasa benar-benar tak berdaya. Aku kehilangan mereka. Aku tak mempunyai
siapa-siapa. Hidupku terombang-ambing tak menentu. Aku berjalan di tengah jalan
raya itu, aku hampir terlindas mobil truk pengangkut barang yang melaju kencang
dari arah barat. Namun seseorang telah menyelamatkanku. Ia adalah Sandy. Pria
yang selalu memerhatikanku. Pria yang berkata bahwa ia adalah sahabat kecilku.
Aku terselamatkan.
“Apa yang kamu lakukan ? kamu ingin mati?”. Ia
membentakku dengan nada seperti orang yang sangat khawatir.
Aku hanya terdiam dan menatapnya. Aku mengingatnya, ia
adalah Sandy Pratmojo, sahabat kecilku yang selalu menemaniku bermain di jalan
setapak itu.
“Sandi? Sandi Pratmojo?”. Kataku tak percaya.
“Ya, kamu mulai mengingatku?”
“Ya. Iya, aku mengingatnya”. Untuk pertama kalinya aku
tersenyum dan merasa aku mempunyai alasan untuk hidup. Masih ada Sandi yang
menemaniku.
Aku mulai tertawa, selalu merasa bahagia bersamanya. Ia
memanglah Sandi, Sandi sahabatku yang sangat mengerti aku. Ialah alasanku untuk
bertahan melalui semua terpaan badai yang selalu datang menghantuiku. Aku
sangat mengharapkan ia akan bersamaku selamanya. Aku sangat menyayanginya, ia
aku anggap seperti kakakku sendiri. Begitupun Sandi, yang menganggapku seperti
adiknya sendiri. Ia menyayangiku, menjagaku, dan merawatku. Aku sangat senang
ia berada di hidupku. Sahabat yang terus membuat aku bertahan, sahabat yang
terus menjaga dan selalu member motivasi yang kuat.
Aku kembali ke rumah malam itu. Tempat yang seperti
neraka bagiku. Di rumah ini, rumah yang dulunya penuh kenangan-kenangan indah
yang terlukis di tiap sudut rumah. Kini, rumah ini seperti neraka, aku
mengerjakan semua pekerjaan layaknya pembantu yang tak dihargai keberadaannya.
Aku kadang tak tidur hanya untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
“Dasar pemalas, tak tahu terima kasih. Aku telah
merawatmu dengan baik. Sekarang, kamu harus melayaniku. Tapi, apa yang kamu
berikan ? hanya air mata mu yang tak berguna!”. Bentak ibu bagai tak
berperasaan.
Aku terus menangis, hingga….plakk !! jari ibu yang dulu
mengusap pipiku, memelukku, kini menamparku seperti binatang. Aku terus
menangis. Ingin ku ledakkan semua rasa sakitku ini, namun aku tak punya daya.
Aku tak pernah berani mengeluarkan semua yang ada di hatiku. Aku hanya
memendamnya hingga membatu di dalam sana.
Esok adalah hari yang paling aku nantikan. Aku akan
berusia 17 tahun. Aku mengharapkan ucapan selamat dari ibu. Namun, yang aku dapatkan
bukanlah kata selamat, melainkan caci maki yang selalu ia lontarkan tiap hari.
Aku semakin sedih, ibu melupakan hari ulang tahunku. Siang itu, Sandi datang
dan membawaku ke jalan setapak itu. Di sana ku lihat sebuah kue dan boneka. Di
atas kue itu bertuliskan kata “SELAMAT ULANG TAHUN” dengan lilin berangka “17”.
Aku sangat terkejut. Orang yang aku anggap tak berarti dulu, ternyata adalah
satu-satunya orang yang sangat mengerti keadaanku. Ia memberikanku boneka
beruang dan sebuah kotak musik dengan lagu yang indah di dalamnya. Aku sangat
senang. Namun, aku tetap merasa sedih karena ibu tak lagi ingat padaku.
Hari terus berlanjut. Aku tetap seperti pembantu di
rumahku, namun bagai permata di samping Sandi. Baginya, aku lebih berharga
dibandingkan permata. Aku sangat tersanjung saat mendengar kata-kata itu. Aku
tak tahu bahwa aku sangat penting baginya.
Aku kembali kehilangan. Ini
membuatku semakin tak berdaya.
Siang itu, Sandi akan menjemputku dari sekolah. Aku
menunggunya dengan sangat gembira. Ia muncul dengan motor besarnya itu. Baru
beberapa detik ketika aku ingin menyapanya, tiba-tiba mobil sedan dari arah
berlawanan yang melaju kencang menabraknya. Aku sangat terkejut. Aku berlari
dan segera menolongnya. Orang-orang mulai berkerumun. Seseorang telah menelpon
ambulans. Sandi semakin sekarat. Sandi menggenggam tanganku dan membuka matanya
perlahan seraya berkata “AKU SANGAT MENYAYANGIMU EVA, Aku…” belum sempat
kalimat itu ia selesaikan, detak jantungnya berhenti, nafasnya tak berhembus
lagi. Entah apa yang ada di pikiranku, ia adalah satu-satunya alasanku bertahan
hidup, satu-satunya alasanku untuk tetap berada di dunia ini menghadapi semua
masalah hidupku. Namun, kata-katanya yang terakhir membuatku mengerti betapa ia
menyayangiku. Aku menangis tanpa henti. Wajahnya yang berlumuran darah tetap
dihiasi senyumannya yang manis, senyuman yang ia selalu berikan untuk
menghiburku, senyuman yang selalu dapat menenangkanku.
Aku pulang dalam neraka.
Setelah kejadian itu, hidupku seperti pada awalnya lagi.
Tak ada senyum, canda, tawa, atau apapun itu. Yang ada hanya cacian dari ibu,
ledekan dari teman, bahkan aku merasa terkucilkan di dalam keluargaku. Aku tak
lagi keluar kemana-mana selain ke sekolah. Aku habiskan seluruh waktuku untuk
duduk di balik jendela kamarku. Jendela bertirai renda yang menghadap langsung
kepada jalan setapak tempatku bermain bersamanya. Iya, ia Sandy sahabatku, ia
Sandy kakakku. Ia yang membuatku bertahan, yang membuatku kembali merasakan
kehidupan. Kini tanpanya, aku hanya raga tanpa nyawa.
Tuhan itu adil ? Menurutku tidak! Jika memang dia adil,
mengapa ia renggut semua kebahagiaanku ? Mengapa ia biarkan aku terpuruk dalam
kesendirianku ? Mengapa ia tak memberikanku kebahagiaan seperti yang ia berikan
pada orang-orang di sekitarku ? Mengapa ? Tuhan memang tak adil. Aku tak pernah
berharap aku mendapatkan harta yang berlimpah, emas yang menggunung, atau dikenal
hingga pelosok-pelosok dunia. Tidak, aku tidak berharap begitu. Yang aku
harapkan hanyalah Tuhan memberikan aku kebahagiaan dengan memberikan aku
orang-orang yang dapat memberikanku kasih sayang.
Sebuah surat kecil, sebuah kenangan.
Malam ini aku terus terdiam. Ini adalah malam kedua sejak
kepergian Sandi. Aku teringat dengan sebuah kotak musik yang ia berikan padaku
sebelum ia pergi jauh menuju surga dan tak mungkin datang ke hadapan ku untuk
menebarkan senyuman. Perlahan aku membuka kotak musik itu, ku perhatikan semakin
dalam hingga ku temukan secarik kertas merah mudah yang sangat cantik. Kartu
ucapankah?. Kertas itu ku buka dan ku baca.
“Eva, aku sangat menyayangimu, aku
menyayangimu lebih dari apapun. Aku tahu mungkin aku salah karena baru
mengabarimu sekarang, aku seharusnya tak lama meninggalkan kamu. Aku
menganggapmu seperti adikku. Adikku yang selalu membuatku tersenyum dengan
tingkah lucunya disetiap waktu. Eva, aku ingin kamu tahu, semua yang telah
terjadi antara kita adalah hal yang tak akan pernah aku lupakan. Aku mengerti
mengapa kamu dulu bersedih. Itu karena ayahmu bukan ??....”. Aku terhenti untuk membacanya. Bagaimana ia tahu ini
semua karena ayah ? Padahal selama ini aku tak pernah bercerita. Rasa penasaran
mulai memuncak dipikiranku. Aku mulai melanjutkan.
“….aku mengetahuinya, karena
aku melihat saat ayah kamu memperlakukan ibumu dengan sangat kasar. Malam itu
aku berniat untuk menemuimu. Namun, ku dengar suara teriakan yang terdengar sangat
tersiksa. Ia ibumu. Aku melihat ayahmu memukuli ibumu tanpa ampun, ia seperti
dirasuki roh jahat yang terus berusaha untuk membunuh ibumu. Eva, semua itu
hanyalah kenangan lama, biarlah ia berlalu bersama semua kenangan pahit sebelum
atau sesudahnya. Jangan pernah menangis, teruslah tersenyum, karena SENYUMANMU
yang menguatkan aku. SELAMAT ULANG TAHUN EVA
Salam sayang dariku, Sandi”
Setelah membaca semua itu, aku merasa bahwa Sandimemang
ingin melihatku bahagia. Namun aku tak akan pernah bahagia tanpa orang yang
dapat menyayangiku, tanpa orang yang dapat peduli kepadaku. Cukup sampai di
sini perjuanganku, ku biarkan kehidupan yang membentuk nasibku. Ku biarkan seluruh
jiwa ku terperangkap dalam angan yang melayang dan menghilang.
Akhir sebuah perjuangan.
Pengharapan tak kunjung menuai hasil. Sebuah tanya yang
terlintas terus menggunung tanpa henti. Tenggelamnya aku dalam lautan air mata.
Berusaha menepi dan merasakan kebahagiaan. Jatuh ke lembah keterpurukan
membuatku tak berdaya. Aku masih di sini, di balik kepalsuan ini. Aku terus
berdiri, dengan setitik harapan yang tak pasti. Aku terus berlari, mengejar
sesuatu yang telah mati. Akankah aku akan pulih ? Akankah semua ini berakhir ?
Terjebak dalam kegelapan membuatku buta akan harapan. Tak
pernah menggapai asa dan hilang tanpa jejak. Terhempas tubuhku menerjang ombak
kepedihan. Terus menggapai angan yang tak kunjung tergenggam. Ketika angan
telah hilang, ketika cinta telah pudar. Ketika sayup kepedihan telah datang,
membawaku pergi bersama luka.
Jiwa sepi ini tak lagi merintih. Jiwa sepi ini tak lagi
memanggil. Jiwa sepi ini mulai berpaling. Dan akhirnya jiwa sepi ini MATI.
Raga ini mulai melemah. Tak mampu berlari jauh menemuimu.
Raga ini hanya bisa terdiam. Tak bergerak, kaku bagai patung yang tak berharga.
Bibir ini tak lagi mampu memanggilmu. Memanggilmu untuk kembali menopang
hidupku. Tangan ini tak lagi mampu menggapaimu. Merentangkan kenangan yang
mampu mengembalikan logikaku. Mata ini tak lagi mampu melihatmu. Melihat
senyuman manis yang dapat menyemangatiku. Telinga ini tak lagi mampu mendengar
suaramu, candamu, nasehatmu, bahkan kekesalanmu.
Mataku menjadi buta tanpa melihatmu. Bibirku menjadi bisu
tanpa memanggil namamu. Telingaku menjadi tuli tanpa mendengar suaramu. Tubuhku
terbujur kaku tanpa ada kamu yang menopangku. Jiwaku terasa hampa tanpa ada
kamu yang memberinya nyawa. Aku kini merasa sangat sendirian. Bagai hidup di
dalam kekosongan. Aku masih terdiam di sudut hati yang paling terjal. Aku masih
membisu di antara kebisingan hidup. Kini, hidupku hanya seperti kotoran di
ujung jari. Yang menjadi penghalang. Yang membuat kehidupan tak terlihat indah.
Perlawanan dan semua usahaku menerjang badai kehidupan
hanyalah sia-sia. Ketika aku telah bangkit dan kembali memiliki gairah hidup,
aku harus terjatuh lebih keras dan semakin keras dari sebelumnya. Awalnya aku
di tingkat kebahagiaan, lalu terjatuh tak jauh dari sana. Harapan kembali
muncul dan membawaku ke tingkat kebahagiaan yang paling atas. Namun siapa
sangka? aku harus terjatuh dengan sangat keras pada tingkat yang paling bawah.
Aku cukup di sini. Di balik kekosongan ini. Di balik
semua kepalsuan ini. Mungkin mereka menganggap dirinya manusia. Namun bagiku,
mereka hanyalah iblis dengan rupa yang menawan. Mereka tak berperasaan. Mereka
tak menghargai sebuah kehidupan. Mereka tak peduli pada orang yang di bawah.
Mereka adalah IBLIS berwajah MALAIKAT. Mereka serigala berbulu domba.
EPILOG
“Aku kini telah hilang. Bukan ragaku, namun jiwaku.
Jiwaku terbang mencari kebahagiaan. Meninggalkan ragaku yang tak karuan, yang
terombang-ambing tanpa kasih sayang. Kehidupan hanya latar belakang aku dan
kepedihan. Mereka bersandiwara dalam teater kesengsaraan. Aku hanya sebagai
pembantu di dalamnya. Yang harus tertindas oleh luapan api yang keluar dari
mulut mereka. Sebuah cerita sedih mereka perankan dengan rupa yang menawan.
Namun, itu hanya kebohongan. Hanya kepalsuan. Wajah malaikat mereka mengelabuiku
untuk masuk ke jurang kesengsaraan. Aku kini sendiri. Terperangkap dalam sedih.
Yang bermandikan luapan air mata. Yang terbaring di atas pecahan-pecahan
kenangan yang tersembunyi. Yang menatap lurus sebuah tepi, berharap semua
berhenti di sini. Aku ingin pergi, pergi menyusul yang sangat aku sayangi.
Namun, apakah mungkin aku tiba di sana ? di tempat ia berada. Kini aku sadari bahwa aku masih tetap tinggal di
sini. Ragaku masih di sini. Namun jiwaku tak akan pernah terduduk di sini.
Ragaku masih terdiam, terduduk sedih di balik jendela bertirai renda dan
bersembunyi DALAM LOGIKA”
Akulah gadis kecil yang
terjebak dalam logika.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar