“Teman makan teman” kata itu sering kali ku dengar di
setiap langkah kehidupanku, tak terkecuali pada masa-masa sekolahku. Aku adalah
seorang remaja yang dapat dikatakan masih labil dalm mengkritik sesuatu. Aku
yang kadang hanya bisa diam mendengar berjuta presepsi akan suatu hal.
Suara-suara bising yang kadang tak pernah lelah mengganggu untaian cerita di
setiap petikan kisahku. Cengkraman kegelapan yang kadang menghantuiku. Serta
beribu malaikat yang tak pernah tidur melindungiku. Namun, tak akan ku lupa
suatu zat yang memberikanku kehidupan, Penciptaku, Tuhanku.
Kawan. Jika berbicara mengenai kata “KAWAN” yang
terpikirkan olehku adalah sosok manusia atau apapun itu yang bisa menemaniku
bukan hanya pada saat suka, namun juga dalam duka. Aku yang kadang mempunyai
kawan khayalan. Yah, khayalan. Karena di satu sisi aku hanya dapat berbagi akan
keluh kesahku pada kawan khayalanku ini. Bukannya aku ingin terjebak dalam
dunia khayalan. Namun aku berprinsip “khayalan bukan karena kita terlalu bodoh
untuk melakukannya. Namun khayalan ada karena kita melakukan suatu hal yang
melatih imajinasi”. Kawan tidak mesti orang yang istimewa. Kawan juga tidak
memerlukan identitas sosial. Yang diperlukan hanyalah ketulusan dan kemampuan
untuk menerima seseorang apa adanya, bukan ada apanya.
Lawan. Jika membahas tentang “LAWAN” yang terpikirkan
adalah seseorangyang tidak menyukaiku atau menganggapku sebagai saingannya.
Lawan dalam hidupku tidak ada. Namun orang lain memiliki presepsi sendiri
tentang penilaiannya terhadapku. Seseorang pernah berkata padaku “Kita tidak
menilai diri kita sendiri, yang dapat menilainya hanyalah orang lain”. Aku
sangat setuju dengan pernyataan itu. Namun, aku juga pernah mendengae seseorang
berkata “Jangan terlalu cepat menilai seseorang jika kamu belum mengenal siapa
dia”. Dua penyataan itu kadang membuatku pusing. Dan dua pernyataan itu, yang
membuatku memiliki LAWAN.
Apakah kawan dapat menjadi lawan? Atau sebaliknya?
Tentu saja hal itu dapat terjadi. Seorang kawan yang sangat aku sayangi, bahkan
telah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Ia adalah kawan yang sangat
mengerti aku, posisiku, keadaanku, serta perasaan yang ada di suatu tempat yang
sering kali disebut dengan HATI. Hanya masalah sepele, ia beranggapan bahwa aku
adalah penghalang ia menjadi lebih baik. Ia menganggap keberadaanku hanya akan
menjadikannya di posisi kedua. Hal ini yang mebuatku tercengang akan kata-kata
kasar yang ia lontarkan kepadaku. Sempat terbersit di pikiranku, ia tak tahu
terima kasih. Ia tak tahu balas budi. Namun, aku sadar aku melakukan segalanya
untuk dia, karena aku memang menyayanginya, bukan karena mengharapkan perlakuan
yang sama. Dan pada akhirnya, ia menjadi orang yang sangat membenciku. Orang
yang membuat merasa bersalah akan semua hal yang terjadi padanya, seolah akulah
racunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar