Minggu, 04 Mei 2014

KAWAN atau LAWAN




“Teman makan teman” kata itu sering kali ku dengar di setiap langkah kehidupanku, tak terkecuali pada masa-masa sekolahku. Aku adalah seorang remaja yang dapat dikatakan masih labil dalm mengkritik sesuatu. Aku yang kadang hanya bisa diam mendengar berjuta presepsi akan suatu hal. Suara-suara bising yang kadang tak pernah lelah mengganggu untaian cerita di setiap petikan kisahku. Cengkraman kegelapan yang kadang menghantuiku. Serta beribu malaikat yang tak pernah tidur melindungiku. Namun, tak akan ku lupa suatu zat yang memberikanku kehidupan, Penciptaku, Tuhanku.
Kawan. Jika berbicara mengenai kata “KAWAN” yang terpikirkan olehku adalah sosok manusia atau apapun itu yang bisa menemaniku bukan hanya pada saat suka, namun juga dalam duka. Aku yang kadang mempunyai kawan khayalan. Yah, khayalan. Karena di satu sisi aku hanya dapat berbagi akan keluh kesahku pada kawan khayalanku ini. Bukannya aku ingin terjebak dalam dunia khayalan. Namun aku berprinsip “khayalan bukan karena kita terlalu bodoh untuk melakukannya. Namun khayalan ada karena kita melakukan suatu hal yang melatih imajinasi”. Kawan tidak mesti orang yang istimewa. Kawan juga tidak memerlukan identitas sosial. Yang diperlukan hanyalah ketulusan dan kemampuan untuk menerima seseorang apa adanya, bukan ada apanya.
Lawan. Jika membahas tentang “LAWAN” yang terpikirkan adalah seseorangyang tidak menyukaiku atau menganggapku sebagai saingannya. Lawan dalam hidupku tidak ada. Namun orang lain memiliki presepsi sendiri tentang penilaiannya terhadapku. Seseorang pernah berkata padaku “Kita tidak menilai diri kita sendiri, yang dapat menilainya hanyalah orang lain”. Aku sangat setuju dengan pernyataan itu. Namun, aku juga pernah mendengae seseorang berkata “Jangan terlalu cepat menilai seseorang jika kamu belum mengenal siapa dia”. Dua penyataan itu kadang membuatku pusing. Dan dua pernyataan itu, yang membuatku memiliki LAWAN.
Apakah kawan dapat menjadi lawan? Atau sebaliknya? Tentu saja hal itu dapat terjadi. Seorang kawan yang sangat aku sayangi, bahkan telah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Ia adalah kawan yang sangat mengerti aku, posisiku, keadaanku, serta perasaan yang ada di suatu tempat yang sering kali disebut dengan HATI. Hanya masalah sepele, ia beranggapan bahwa aku adalah penghalang ia menjadi lebih baik. Ia menganggap keberadaanku hanya akan menjadikannya di posisi kedua. Hal ini yang mebuatku tercengang akan kata-kata kasar yang ia lontarkan kepadaku. Sempat terbersit di pikiranku, ia tak tahu terima kasih. Ia tak tahu balas budi. Namun, aku sadar aku melakukan segalanya untuk dia, karena aku memang menyayanginya, bukan karena mengharapkan perlakuan yang sama. Dan pada akhirnya, ia menjadi orang yang sangat membenciku. Orang yang membuat merasa bersalah akan semua hal yang terjadi padanya, seolah akulah racunnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar