Selasa, 15 Juli 2014

Beningnya

Sekali lagi, canda kembali hadir di sela-sela malam yang kian larut ini. Namun, sekali lagi aku harus menerima beratnya kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Entah ini adalah kali berapa si bening jatuh lagi. Sedikit demi sedikit si bening mulai mengalir.
"Tuhan, aku hanya ingin merasa tenang di pelupuk mata. Aku tidak ingin terjatuh lagi. Aku ingin melihat yang di bawah sana (bibir) selalu mengukir lengkungan indah (senyuman). Dan aku ingin, aku akan terjatuh pasa masa yang tepat"
Satu demi satu kata terungkap dari si bening. memang, ia seharusnya tak berbicara. Kalimat tersebut hanya kiasan seolah si beningnya tak inginterjatuh.Nyatanya, aku yang menginginkan agar ia takkan jatuh. Tidak kali ini.Aku terus menahannya di tempay,ya di pelupuk mata. Namun, ia terus meronta dan aku sadar ia mulai menyiksa. Ia semakin terdorong untuk jatuh. Dan sekali lagi, aku kembali menangis.
Beningnyaa........ :'(

Selasa, 08 Juli 2014

Dear Ayah, ...



Sosok tegap berdiri di hadapanku. Mengelus kepalaku dengan tangannya yang lembut. Pria yang menjadi panutanku sejak kecil. Sosok pelindung dengan sejuta pedang di matanya. Sosok pemimpin yang membimbingku dalam gelapnya malam. Sosok yang tak akan pernah ku dapatkan penggantinya. Sosok seorang AYAH.
Untuk kesekian kalinya air mataku masih tertahan di pelupuk mata. Entah mengapa kata-kata yang sering ia lontarkan kini telah tiada. Sudah terlalu lama aku terpuruk seperti ini. Sudah terlalu lama aku mendambakan sosoknya akan kembali. Namun, sebuah penatian hanya menjadi harapan yang tak kunjung menuai hasil.
Begitu miris, melihat kawanku masih mampu bersenda gurau dengan ayahnya. Benar-benar miris, ketika sepulang sekolah kawanku telah dinanti oleh sosok pria yang sangat ku dambakan. Ya, sosok seorang ayah. Mungkin terlalu berat bagiku, seorang gadis yang sedari dulu mendapatkan kasih sayang seorang ayah namun kini hal itu telah sirna. Berulang kali aku berharap ini hanya sebatas mimpi atau mungkin ini hanya sebatas fiksi. Namun, kenyataan berkata lain. Ayah benar-benar hilang, entah ke mana, di mana, dan bersama siapa. Apakah dia sakit? Apakah dia sehat? Atau mungkin telah mati? Semua itu masih misteri.
Aku telah salah membiarkan diriku terpuruk. Membiarkan diriku terombang-ambing.
Dear Ayah,
Anakmu ini telah terbiasa

Di Ambang Pintu

Bersama setiap hembusan nafas, aku menikmati berjuta nyanyian perih yang tiada henti memberikan kesakitan. Bersama berjuta sayup keheningan yang menemani setiap langkah kaki yang terus berjalan.
Pena yang masih saja berlaga di atas kertas membuatku kian suntuk dengan berjuta logika. Jemari yang kian menari tak pernah memberikan harapan pasti dari setiap masalah dunia. Mungkin ada saat dimana mata telah lelah memandang wajah-wajah para pendusta yang mengumbar sejuta janji. Atau mungkin bibir mulai kaku dan tak mampu berucap. Terlebih ketika telinga tak mampu lagi mendengar jeritan hati yang kian kesepian. dan badan yang terbujur kaku tak bernyawa.
Sekali lagi, aku merasakan kesakitan. Entah bagaimana cara mengungkapkannya, “dia” sosok yang masih berdiri di ambang pintu. Yang tak ku mengerti akan keluar atau kembali masuk dalam rentetan cerita hidupku. Seseorang pernah berkata, “Jika kau ingin keluar, maka keluarlah segera. Namun, jika kau ingin masuk dengan senang hati pintu akan terbuka dengan lebar. Namun jangan pernah berdiri di ambang pintu itu, karena kau hanya akan menghlangi orang yang masuk”
Untuk “dia” yang di sana, segeralah beranjak dari ambang pintu itu


Jangan Salahkan Impian



Wah, tidak terasa satu bulan lamanya aku tak mencoba untuk menulis lagi. Kali ini tulisanku mengenai hal yang membuat aku bertahan. IMPIAN.
“Gantungkan mimpimu setinggi-tingginya”. Kata yang tak pernah menjadi asing di telingaku. Kata yang entah bagaimana bisa membuatku berdiri seperti saat ini. Kata yang terus menginspirasiku hingga bintang telah berada di genggamanku.
Menari lagi, berjuta impian menari lagi di sela-sela pemikiranku yang kian hari terasa berat. Aku yang masih berumur 16 tahun mulai berpikir dan berandai-andai bagaimana aku bisa menjadi sosok manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Masih aku ingat sebuah kutipan, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain”. Sungguh kalimat yang tak pernah aku lupakan. Bagaimana aku akan menjadi manusia yang sangat bermanfaat, bukan seonggok daging berjalan dan diberi nama.
Keseharianku masih dipenuhi berbagai masalah layaknya seorang siswi biasa. Bangun, mandi, makan, sekolah, pulang, makan, belajar, mandi, makan, belajar, tidur, dan mengulangnya lagi keesokan hari. Jalan-jalan? Yah, Tentu saja aku masih membutuhkannya. Meluangkan sedikit “musuh” ku ini. Musuhku adalah waktu. Ya, Waktu yang teramat berharga dengan berjuta detik yang tak akan ku lewatkan. Waktu yang menjadi lawan paling tangguh di setiap aku mengerjakan rutinitas.
“Adalah mimpi yang membuat segala sesuatu menjadi lebih indah. Adalah mimpi yang bisa membuat gurun menjadi hutan tropis. Adalah mimpi yang bisa membuat lautan menjadi tandus. Adalah mimpi yang bisa membuat orang miskin menjadi orang terkaya di dunia. dan adalah mimpi yang membuatku bisa berdiri, berjalan, dan berlari seperti saat ini”. Itulah sebuah kutipan kalimat yang entah mengapa membuatku terus mengingat satu demi satu kata yang ada di dalamnya.
Impian? Ya, impian. Sekali lagi aku bertahan dengan hal itu. Dan berkali-kali lagi aku menerjang tembok yang menghalangiku dengan hal itu. Impian yang membuatku benar-benar merasa “hidup” dengan berjuta masalah di setiap hari. Dan impian yang menguatkanku bak pondasi terkokoh.
Jangan salahkan aku yang terkadang bermimpi dan berkhayal terlalu tinggi. Jangan salahkan aku jika terlalu berlebihan dengan kenyataan. Karena inilah caraku menjadi “hidup”. Inilah cara ku memberi “hidup”. Hidupku, caraku. Mimpiku, keajaibanku.