BAHAGIA ITU SEDERHANA
Banyak yang salah sangka menafsirkan tingkah lakuku
yang aneh. Aku terlahir dengan karakter introvert. Itu istilah untuk seorang
yang pendiam, pasif, dingin, dan tertutup. Penyebab aku tak punya teman,
sendirian, dan penyendiri. Jangan sapa aku di jalan, karena aku tidak akan
menoleh. Mereka bilang aku sombong. Tentu saja, aku juga tidak akan menyapa
siapapun karena aku tidak kenal siapapun di dunia ini. Aku tak punya teman,
pacar, dan keluarga aku ini sendirian.
“Bagaimana dengan ayah, ibu, kakak dan adikmu?”
“Aku tak punya keluarga”
“Bukankah dirumahmu ada orang lain selain dirimu?”
“Kau ini banyak omong, berhentilah bertanya”
Aku meninggalkan cewek berbadan mungil bernama Tasya
tersebut dan melanjutkan perjalananku. Duniaku terlalu membuat Tasya merasa
tertarik untuk menanyakan segala macam hal tentang diriku. Jujur saja, aku
tidak menyukainya.
Kembali berfikir sejenak. Duniaku ini mungkin sudah
seharusnya tak terjamah oleh siapapun. Cukup aku saja yang merasakan duniaku
yang kian menenggalamkanku. Aku tidak yakin dengan adanya Tasya aku akan
menjaadi lebih baik. Dia hanya gadis berisik yang ingin serba tahu tentang
kehidupanku. Entah mengapa ia dapat beranggapan bahwa aku menarik. Sungguh
pernyataan bodoh yang sangat bodoh,, bagaimana mungkin kepribadianku yang
pendiam, dingin, serta tertutup dapat menarik hati seseorang? Ia mungkin hanya
ingin mempermainkanku. Semakin aku berpikir, semakin tercampur semua isi
kepalaku.
Tasya yang terus saja membuntutiku sejak tadi
sangatlah mengganggu perjalananku ke sekolah. Ocehannya yang kian menari-nari
di telingaku membuatku geram. Mengapa dia begitu berisik? Mengapa dia harus ada
di setiap aku melangkahkan kaki?
Di kelas yang satu ini aku menuntut berbagai
pendidikan. Sudah dua tahun lamanya aku mendekam di berbagai kenangan masa
putih abu-abu. Suasana kelas yang bising ini kian membuatku merasa menghilang.
Semua orang telah beranggapan aku tidak ada, keberadaanku tak pernah dianggap.
Namun, bereda dengan Tasya yang kian memperhatikanku. Ya, Tasya adalah salah
satu teman sekelasku. Namun, keberadaannya kini sangat membuatku risih.
Sikapnya yang terlalu perhatian dan ingin tahu segalanya seolah mengupas satu
demi satu diriku yang lain.
“Hei! Mengapa diam saja? Ciee, ngelamunin siapa tuhh?”
ledek Tasya yang mulai dengan kicauan barunya.
Aku hanya diam. Aku berusaha mengacuhkan segala
pembicaraannya.
“… (blablabla)Apakah kamu tidak merasa kesepian?”
“Tidak” jawabku singkat.
“Dingin amat!”
“Berisik! Pergi sana! Tidak usah mengganggu orang
lain. Kamu punya pekerjaan, kan? Berhentilah bertingkah seperti ini!” nada
suaraku kian meninggi.
Tasya terdiam. Ia kemudian pergi dengan wajah
sembraut. Aku mungkin terlalu keras padanya. Namun aku tidak peduli, ini semua
salahnya yang terlalu tertarik dengan kehidupanku. Ini semua salahnya yang
terlalu bising dengan beribu pertanyaan yang dia lontarkan. Aku tidak ingin
orang lain mengetahui ada apa denganku dan bagaimana untuk dekat denganku.
Bel sekolah telah membahana menyerukan waktu pulang
sekolah. Seluruh siswa berhamburan keluar untuk kembali ke peraduannya
masing-masing. Langkah kaki kian menuntunku ke sebuah gubuk bertahta
kesengsaraan. Rumahku memang besar, namun bagaikan neraka yang tak terjamah
oleh kebahagiaan. Jangan tanyakan apa isinya, karena itu hanya akan membuatmu
menyesal. Jangan pernah penasaran, karena kau tidak akan mendapat apa-apa dari
rasa penasaranmu itu.
“Dari mana saja kamu?” sosok wanita karir berpakaian
modis berdiri di hadapanku.
“Sudah pasti dari sekolah, kan? Aku sedang berpakaian
apa sekarang? Apakah kamu buta? Sesibuk itukah kamu sampai-sampai tak bia
membedakan pakaian sekolah dengan pakaian lain!”
“Kamu itu…”
“Sudahlah jangan berisik dan sok mengatur, aku mau
isirahat. Kamu jangan mengganggu”
“Kalau begitu jangan lupa makan” ia mulai mengeluarka
sikap keibuannya.
“Ya”
Wanita itu kembali pergi di kehidupan luarnya yang tak
pernah aku jamah.
Masih dalam bilik kamar. Mencerna kata-kata Tasya
“…Apakah kamu tidak merasa kesepian?” pertanyaan yang bodoh, sejak kapan gadis
itu beranggapan aku kesepian. maaf saja, aku tidak merasa kesepian. Memang, aku
kadang merasa sendirian.
“Ahhh…Mengapa aku selalu memikirkan Tasya? Semenjak
gadis itu muncul dan menanyakan berbagai hal, aku menjadi tak karuan” batinku
Keesokan harinya, sekolah diliburkan karena kelas XII
sedang menghadapi ujian sekolah. Tentu saja aku hanya menghabiskan waktu di
taman rumah, tidak seperti remaja pada umumnya yang menghabiskan masa liburan
dengan jalan-jalan ataupun nongkrong.
Sekali lagi aku melihat sosok gadis yang tidak asing seolah lalu lalang
memperhatikanku dari kejauhan. Tasya, lagi-lagi dia mencoba mencari tahu
tentangku. Dari mana ia mengetahui alamatku? Seserius itukah ia mengetahui
segalany tentangku? Ahh, aku mati kutu.
“Sedang apa kamu?”
“Hm…anu…anu…akuu..sekedar jalan-jalan, ya jalan-jalan”
“Dasar pengganggu”
“Hei jangan pergi, aku hanya ingin berteman”
“Sayang sekali aku tidak mau. Pulang sana!!”
Sekali lagi aku sangat keras dan dingin terhadap
Tasya. Dia memang sangat menyebalkan dan membuat aku geram karenanya. Namun,
jika dipikir lebih baik lagi, Tasya memang seorang gadis yang ceria dan seperti
tidak punya beban. Cara ia berpakaian juga sangat modis, seperti para girlband yang sedang naik daun. Sekarang
aku mulai bertanya-tanya bagaimana bisa Tasya menjadi gadis yang seperti itu.
Mengapa ia bisa tampak begitu manis?
“Aduh… mengapa sekarang aku ikut-ikutan Tasya yang
ingin tahu urusan orang? Mengapa aku terus memikirkan dia?” batinku mulai
beradu lagi
Sekolah kembali di buka untuk para siswa yang senantiasa
bersemangat mengejar pendidikan. Seperti biasa, Tasya hadir lagi di hari-hari
baruku. Ia kembali menggangguku dengan tembakan-tembakan pertanyaannya. Namun,
kali ini entah mengapa aku merasa baik-baik saja. Dan aku memberanikan diri
bertanya
“Tasya”
“Ya, ada apa Raka?”
“Waktu di rumahku, kamu mengatakan bahwa kamu ingin
berteman dengnku, bukan?”
“Ya, tentu saja. Aku sangat mau”
“Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaiman kamu selalu
tampak ceria? Padahal aku sangat sering membentakmu”
“Aku selalu beranggapan kalau setiap bentakanmu itu
adalah cara kamu mengekspresikan diri. Ituu yang membuatmu berbeda. Aku akui
itu memang menyakitkan, namun bukankah semua oang pernah begitu?” Tasya
tersenyum sangat manis
“Lalu, mengapa kamu bisa menghadapi segalanya?”
pertanyaanku yang sejak malam kupikirkan akhirnya terlontar begitu saja.
“Hahaha. Kamu jadi kepo
yah! Begini, seseorang pernah berkata kepadaku bahwa kenikmatan sebuah kopi
dinilai dari seberapa pahit kopi itu”
“Maksudnya?”
“Kopi itu adalah perumpamaan sebuah kehidupan. Semakin
banyak cobaan, berupa kepahitan semakin mendewasakan seseorang, hingga ia
menjadi lebih baik”
“Lalu bagaimana kamu bisa sangat bahagia?” pertanyaan
kembali terlontar
“Raka, bahagia itu sederhana. Cukup kamu menikmati
pemberian Tuhan, bukannya mengeluh dengan semua cobaannya”
“Aku masih belum mengerti”
“Tenanglah, akan ku ajarkan padamu” senyuman Tasya
kali ini membuatku sangat tenang. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan
kebahagiannya. Dan untuk pertama kalinya aku mengukir senyuman di raut wajahku.